IKA-PMII DAN GENERASI UNGGUL NUSANTARA (REFLEKSI JELANG MUNAS VII IKA-PMII 2025)

Oleh : M Kholidul Adib
Sekretaris Bidang Kaderisasi dan Pendayagunaan Potensi Anggota PW IKA-PMII Jawa Tengah

Pada hari Sabtu tanggal 8 Februari 2025, Pengurus Besar Ikatan Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB IKA-PMII) akan mengadakan kegiatan Sarasehan Nasional Pra Munas VII IKA-PMII bertempat di Ruang Poncowati Hotel Patra Jasa Semarang.

Adapun Munas VII IKA-PMII direncanakan berlangsung pada tanggal 21 – 23 Februari 2025 di Jakarta.
Sarasehan Nasional mengusung tema Reaktivasi Genetika Unggul Nusantara untuk Indonesia Bermartabat.

Tema tersebut dinilai penting karena bangsa Indonesia merupakan keturunan orang-orang hebat di masa lalu (era Mataram kuno, Majapahit, Sriwijaya, Demak, Mataram Islam) tetapi sejak dijajah Belanda berubah menjadi inlander. Mental demikian hingga sekarang masih bertahan dimana seolah-seolah kita bangsa pemalas, tidak maju dan selalu terpesona dengan asing.

Anehnya supaya dianggap bangsa yang maju cara yang dilakukan adalah meniru bangsa asing yang dianggap maju atau kombinasi antara asing dan pribumi (blesteran).

Sehingga sekarang ini banyak orang Indonesia lebih terpesona dengan hal-hal yang berbau blesteran. Hal itu terjadi hampir di semua bidang kehidupan, baik ekonomi, politik, pengetahuan, budaya bahkan olah raga.

Fenomena PSSI terhadap Timnas Sepakbola Indonesia yang gencar melakukan naturalisasi pemain Belanda berdarah nusantara adalah bukti nyata bahwa kalau Indonesia mau maju ya menjadi seperti bangsa asing atau minimal blesteran yang dianggap lebih berkualitas.

Refleksi Kaderisasi

Sebagai bagian dari elemen masyarakat Indonesia, alumni PMII yang tergabung dalam wadah IKA-PMII juga menghadapi kompetisi terbuka, yaitu globalisasi yang menuntut semua bangsa di dunia untuk meningkatkan Sumberdaya Manusia (SDM) agar dapat berkompetisi dengan bangsa lain.

Sebagai bagian dari peningkatan SDM adalah membenahi mental bangsa Indonesia yang sekarang sudah terjebak dalam kehidupan yang materialistis, individualis dan hedonis, apalagi di kalangan generasi muda (Generasi Millenial maupun Generasi Z) yang tumbuh dan berkembang di tengah pesatnya teknologi informasi seiring dengan kemudahan mengakses internet dan banyaknya platform digital/media sosial yang mudah dinikmati generasi muda namun membuat jiwa generasi muda mudah rapuh sehingga mudah terpapar radikalisme, narkoba, pergaulan bebas, judi online hingga putus asa lalu bunuh diri.

Mental yang harus dibangun adalah kesadaran untuk bangkit sebagai bangsa yang unggul.

Dalam menghadapi kompetisi bebas globalisasi kita tidak bisa eksis sendirian, maka perlu kolaborasi dengan sesama sahabat alumni PMII maupun dengan pihak lain dengan memakai pendekatan sindikasi agar kita bisa bertahan hidup (survive) dalam memperjuangkan nilai-nilai dan cita-cita ideologi PMII, maka kita diharapkan bisa percaya diri dan serius menghadapi tantangan zaman.

Percaya diri akan membuat kita berani menghadapi globalisasi yang meniscayakan persaingan sumberdaya. Siapa yang bagus kualitasnya akan survive, siapa yang kurang bagus kualitasnya akan tergilas. Orang yang tidak punya kemampuan akan tidak percaya diri dan itu tanda-tanda akan tergilas, maka kita perlu untuk membekali diri dengan SDM atau skill yang cukup sehingga percaya diri memasuki gelanggang “pertempuran” globalisasi.

Di antara kemampuan kader yang sedang digalakkan adalah mendorong kader agar menguasai bahasa asing, penguasaan IT dan peningkatan skiil berwirausaha.

Bekal penguasaan SDM atau skill tersebut diakumulasi menjadi gerakan kolektif dengan membangun basis di “pangkalan gerakan” yang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.

Untuk bisa punya bekal yang cukup dan mampu membangun basis “pangkalan gerakan” yang memadai, maka niscaya adanya kedisiplinan, baik disiplin dalam penguasaan ilmu, skill, keterampilan maupun perilakunya, seperti dalam hal yang sederhana terkait mengatur waktu, pekerjaan, menjalankan tugas organisasi maupun pengembangan kapasitas diri sesuai dengan bakat-minatnya.
Ketika semua kita sudah mampu membangun disiplin diri maka diatur bagaimana agar terwujud kolaborasi dengan berbagai kalangan agar kemampuan kader semakin meningkat.

Dengan demikian, bukan mustahil kita akan survive dalam menghadapi persaingan global.

Menghadapi situasi demikian, kita harus membangun gerakan kolektif (berjama’ah) agar bisa survive bersama-sama (survival collective). Ini bahasa lama yang sudah 25 tahun lalu (tahun 2000) kita gagas, tetapi hingga sekarang belum sepenuhnya menjadi habitus di kalangan alumni PMII.

Padahal dengan bekal yang cukup, disiplin, percaya diri dan kolektivitas, akan membuat kita bisa survive.

Dalam kerangka itulah, meniscayakan pembagian peran dan kerja sama untuk mewujudkan cita-cita.

Refleksi Diaspora

Distribusi kader sering disamakan dengan diaspora atau penyebaran kader di berbagai bidang.

Padahal makna “Diaspora” bukan semata menyebarnya orang ke mana-mana, tetapi menyebarnya system, seperti Yahudi menyebar sistem di mana-mana (sistem pengetahuan, sistem kekuasaan ataupun sistem kapital).

Diaspora juga diartikan penyebaran struktural tetapi tidak kelihatan. Tiongkok juga menyebarkan orang di mana-mana.

Terkait diaspora anggota ini segenap kita perlu disiplin. Sebab sulitnya mengatur diaspora ini juga terkait erat dengan rendahnya kedisiplinan kita.

Secara umum, mengamati situasi saat ini, penyebaran kita bisa diklasifikasikan dalam lima bidang, yaitu: pengetahuan, kekuasaan, modal, advokasi yang lebih dekat dengan arah kebijakan atau relasi kekuasaan, dan pofesional yang benar-benar murni skill seperti wartawan.

Selama ini yang paling dominan adalah pengetahuan (wacana) dan politik. Itu karena sejak 35 tahun lalu (tahun 1990), lebih banyak alumni PMII yang lulusan diklat politik dan ansos. Sedangkan yang lain masih sedikit. Misalnya di sektor bisnis.

Baru 15 tahun terakhir saat system politik sudah neo-liberal yang berbiaya mahal (sejak pilpres langsung 2004, pilkada langsung 2005 dan puncaknya pileg 2009 dengan system proporsional terbuka yang berbiaya mahal), maka alumni PMII mulai sadar betapa pentingnya membangun kekuatan modal guna modal tarung politik.

Ini terutama sejak tahun 2009 (15 tahun lalu) sudah kita galakkan, maka hasilnya di kalangan alumni muda PMII mulai tumbuh semangat wirausaha dan sekarang saatnya IKA-PMII harus lebih banyak membina anggotanya untuk lebih banyak menjadi pengusaha.

Artinya kita harus serius membangun basis modal (produksi ekonomi dan perdagangan).

Jika direfleksikan, penyebaran kita selama ini bukanlah diaspora, tetapi penyebaran yang merupakan “kecelakaan”. Benar-benar menyebar yang susah dikontrol. Ini menjadi tugas kita bersama.

Anggota yang sudah didistribusikan (atau mendistribusikan diri) di bidang tertentu harus bisa memahami alur sistem diaspora yang dijalankan.

Di ruang manapun, di bidang apapun dan di pangkalan gerakan manapun jika diberi mandat oleh IKA-PMII, harus patuh dan melaksanakan dengan baik dan optimal, bukan semata-mata untuk individu tetapi untuk kebersamaan.

Soal sistem inilah yang harus dirumuskan bersama-sama sehingga akan menjadi kultur (budaya) atau habitus di IKA-PMII.

Penataan diaspora alumni PMII harus digalang dengan memfungsikan kelembagaan IKA-PMII.

Sebagai langkah awal, alumni PMII yang sudah tersebar di berbagai tempat perlu dilakukan pendataan secara massif.

Perlu prioritas yang menekankan pada beberapa isu mendasar seperti data base anggota, pembinaan anggota, distribusi dan pengawalan anggota.

Data base dan distribusi anggota menjadi penting karena di situlah medan kompetisi IKA-PMII berada.

Di sini perlu memberdayakan alumni PMII yang paham teknologi informasinI (IT) untuk menyusun data base alumni PMII di Jawa Tengah. Kita bisa melibatkan PC IKA-PMII di daerah.

Data base alumni PMII penting karena di Jawa Tengah banyak alumni PMII tersebar di berbagai bidang pengabdian, baik ekonomi, politik maupun pengetahuan. Keberadaan alumni telah memberikan kontribusi bagi pembangunan bangsa.

Program kerja disusun dengan memperhatikan skala prioritas yang menekankan pada beberapa isu mendasar seperti data base anggota, pembinaan anggota, distribusi dan pengawalan anggota, dan lain-lain, dengan membangun sinergitas antar anggota yang tersebar di berbagai bidang. Seringnya pertemuan antar-anggota, forum refleksi, keterbukaan dan kedisiplinan akan semakin kuat untuk memenangkan kontestasi.

Di situlah sistem diaspora harus berjalan dengan baik dan kepatuhan pada komando IKA-PMII adalah sebuah keniscayaan demi tercapainya cita-cita pergerakan.

Supaya design gerakan bisa berjalan dengan baik, maka niscaya ada tata kelola organisasi yang baik pula maka penting dibangun pola kepemimpinan dan sistem kerja organisasi guna mendukung terciptanya proses diaspora yang sistemik.

Dalam konsep distribusi, seorang kita yang sudah melalui fase produksi (sejak ketika masih aktif di PMII) dan sudah didistribusikan atau mendistribusikan diri di bidang tertentu dituntut harus bisa survive dan dia akan bersaing dengan banyak orang (berkontestasi): akankah kita dapat bertahan dan semakin mampu berkarir dengan bagus, ataukah malah terpental dan terbuang dari bidangnya, maka pada fase ini terkadang standar keberhasilan anggota akan dilihat dari kemampuannya survive dalam persaingan hidup di bidangnya masing-masing.

Supaya tetap dapat survive, kita memang perlu sadar diri, sadar posisi dan karenanya kadang juga butuh pengawalan guna memenangkan proses perebutan posisi atau kontestasi.

Kontestasi bisa diartikan sebagai proses tampilnya anggota ke sebuah gelanggang atau medan kompetisi atau persaingan dalam rangka memenangkan perebutan untuk menguasai suatu pangkalan gerakan.

Dalam hal ini mental atau nyali kader menjadi salah satu faktor penentu, di luar faktor keberuntungan/takdir.

Kontestasi anggota meniscayakan adanya penataan yang rapi mulai dari proses produksi dan distribusi dimana perlu ada pembagian peran di berbagai pangkalan gerakan supaya benar-benar bisa menjadi generasi unggul untuk meraih kejayaan di pentas global. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *