SEMARANG, nukotasemarang.com – Pillwalkot merupakan mekanisme resmi suksesi kekuasaan di tingkat lokal bagi negara yang menganut system demokrasi yang menempatkan kedaulatan berada di tangan rakyat. Pada 27 Nopember 2024 akan diadakan pemilukada serentak di seluruh wilayah Indonesia, termasuk di Kota Semarang.
Pilwalkot Semarang 2024 diikuti dua pasangan calon, yaitu Paslon Nomor Urut 1 : Agustina Wilujeng – Iswar Aminuddin diusung oleh PDIP Perjuangan (14 kursi DPRD Kota Semarang); dan Paslon Nomor Urut 2 : AS. Sukawijaya – Joko Santoso diusung oleh Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus (total 36 kursi di DPRD Kota Semarang) yang berisi sembilan partai politik yaitu Partai Gerindra, Partai Demokrat, PKB, PSI, Partai Golkar, PKS, NasDem, PPP, PAN, dan sejumlah parpol non parlemen.
Jumlah penduduk di Kota Semarang tahun 2023 adalah 1.696.366 jiwa. Menurut agama tahun 2023 yang dianut Islam sebanyak 87,56%, Protestan 6,81%, Katolik 4,95%, Budha 0,59%, Hindu 0,07%, aliran kepercayaan dan Konghucu 0,02%. Jumlah pesantren di Kota Semarang tahun 2023 ada 169 buah menunjukkan bahwa kekuatan kaum santri di Semarang tidak bisa diremehkan.
Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pilwalkot Semarang 2024 ada 1.265.192 pemilih yang sudah ditetapkan dalam rapat pleno KPU Kota Semarang. Terdiri dari 613.751 pemilih laki-laki dan 651.441 pemilih perempuan, tersebar di 16 Kecamatan, 177 Kelurahan dan 2.358 TPS. Pemilih terbanyak berada di kecamatan Pedurungan 278 TPS dengan 147.681 pemilih. Sedangkan pemilih terkecil berada di kecamatan tugu dengan 48 TPS dengan 24.846 pemilih. Dari segi usia terdiri dari 22,11% untuk Generasi Z (usia 17-27 tahun), 32,26 % utk Milenial (28-43 tahun), Gen X (usia 44-59 tahun) dan 15,12% untuk Generasi Baby Boomer (60-79 tahun).
Penyelenggara pemilu baik KPU dan Bawaslu dari tingkat Kota, Kecamatan, Kelurahan hingga tingkat TPS harus professional, adil dan netral alias tidak memihak salah satu kontestan pilkada. Bawaslu dan aparatnya harus tegas apabila ada pelanggaran pilkada dalam bentuk apapun.
Penyelenggara pemilu yaitu KPU sudah selesai menyelenggarakan debat publik untuk kedua paslon paslon. Pilwalkot Semarang akan segera memasuki masa puncak yaitu masa pemungutan dan penghitungan suara tanggal 27 November 2024.
Strategi Pemenangan Paslon
Jika kita memperhatikan langkah-langkah pemenangan masing-masing pasangan calon hampir ada kemiripan. Pertama, para kandidat tentu sudah mempersiapkan visi, misi dan program kerja yang akan mereka sampaikan kepada masyarakat sebagai bentuk komitmen mereka untuk memimpin Kabupaten Kota Semarang selama 5 tahun ke depan.
Kedua, para kandidat mengadakan sosialisasi kepada masyarakat baik dengan memasang baliho di banyak tempat maupun menghadiri langsung berbagai kegiatan pertemuan dengan masyarakat. Dalam pertemuan ini para calon akan mengajak masyarakat diskusi mengenai apa-apa saja yang akan dikerjakan untuk pembangunan Kota Semarang ke depan. Kemudian masyarakat juga berhak memberikan komentar, kritik, saran, setuju atau tidak setuju dengan visi, misi dan program para calon.
Ketiga, para kandidat sudah memanaskan mesin politiknya masing-masing dengan mengadakan konsolidasi dan penguatan tim pemenangan resmi. Tim ini biasanya melibatkan gabungan dari unsur partai, tokoh masyarakat, tokoh ormas dan berbagai elemen masyarakat. Tim juga dibentuk hingga tingkat kecamatan dan desa. Bahkan sudah ada yang memulai melakukan pendataan pemilih agar nantinya benar-benar memilih kandidat yang diinginkan oleh tim pemenangan.
Keempat, di luar tim pemenangan resmi, pasangan calon juga sudah mulai membuat tim relawan di berbagai komunitas dengan melibatkan para tokoh masyarakat, tokoh ormas, tokoh agama dan tokoh pemuda bahkan alumni sekolah atau pesantren. Tim relawan yang dibentuk juga sudah mulai rajin melakukan pertemuan di komunitasnya masing-masing. Keberadaan tim relawan ini akan memperkuat kerja tim pemenangan resmi. Dalam sejumlah kasus kadang tim relawan kerjanya lebih maksimal ketimbang tim pemenangan resmi.
Kelima, untuk memenangkan pilkada tentu membutuhkan biaya yang sangat besar, baik untuk membiayai mesin partai, bahan-bahan sosialisasi, konsumsi dan transportasi tim sukses, hingga mempersiapkan dana untuk memberikan “sedekah politik” kepada masyarakat pemilih. Pemberian ini biasanya terjadi pada hari tenang atau hari H pencoblosan. Istilah “sedekah” ini sering disampaikan oleh para tim sukses.
Untuk Pilwalkot Semarang tahun 2024, jika ada 1.265.192 pemilih maka dengan asumsi yang menggunakan hak suaranya ada 1 juta pemilih yang menggunakan hak suaranya di TPS maka Paslon cukup menggelontorkan 800,000 amplop berisi 50,000 (total 40,000,000,000) dan amplop akan disebar menyasar ke para pemilih yang masuk kategori menengah ke bawah.
Dengan menghabiskan dana 40,000,000,000 yang sangat besar untuk money politics tentu ketika sang kandidat terpilih sebagai kepala daerah maka pertama kali yang akan dilakukan adalah mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan untuk biaya pemenangan sehingga rawan terjadinya korupsi APBD.
Di sinilah pentingnya pendidikan politik kepada elit politik dan pemilik. Pendidikan politik bagi elit penting agar elit tidak membodohi rakyat dengan melakukan money politics, sebaliknya pendidikan politik bagi rakyat penting agar rakyat cerdas dalam menentukan pilihannya. Masyarakat Kota Semarang harus berani dan tegas untuk menolak segala bentuk pemberian dari calon karena ujungnya nanti akan membuat angka korupsi semakin besar. Masyarakat Kota Semarang harus menjadi pemilih yang cerdas yang rasional yang memilih atas dasar hati nuraninya, atas dasar akal sehatnya, bukan atas dasar transaksional pragmatis atau rasional instrumental (dalam Bahasa Max Weber). Adanya pendidikan politik kepada masyarakat diharapkan agar rakyat menjadi pemilih yang cerdas dan rasional yang berani menolak politik uang.
Pemilih yang cerdas dan rasional yang memilih atas dasar visi misi dan program calon akan menyelematkan Kota Semarang ke depan. Maka masyarakat harus mulai mengenali para calon, track record mereka selama ini bagaimana, integritas mereka bagaimana dan komitmen mereka selama ini seperti apa. Jangan asal memilih karena diberi imbalan atau amplop.
Bahaya Money Politics bagi Demokrasi
Pengalaman pemilu dan pilkada langsung di Indonesia selama ini selalu dibayangi dengan politik uang (money politics). Fenomena ini tidak hanya berlaku pada pilkada tetapi juga pada pileg, pilpres dan pilkades. Selalu ada pihak yang membagi uang yang menyuruh penerima untuk mencoblos calon tertentu. Hal ini sudah menjadi rahasia umum namun susah untuk dibuktikan karena masyarakat juga sudah memaklumi dan menjadikannya sebagai kelumrahan.
Praktik politik uang (money politics) seperti pembelian suara, mahar politik hingga penyalahgunaan dana kampanye, telah menjadi masalah yang meresahkan. Hal ini bisa saja menimbulkan sebuah hipotesis bahwa hasil pemilihan seringkali dipengaruhi oleh uang daripada pemilih yang benar-benar memahami visi dan misi calon kandidat.
Pengalaman dari pemilu yang dilaksanakan di Indonesia, modus money politics dibagi dalam kategori langsung dan tidak langsung. Misalnya, (a) membagi-bagikan uang secara langsung, (b) instruksi memasangkan bendera dengan imbalan uang, (c) pembagian sembako, (d) memberi uang kepada massa kampanye, (e) membagikan uang melalui temu kader, (f) janji-janji memberikan sesuatu, (g) memberikan bantuan dana pembangunan rumah ibadah, dan berbagai modus lainnya.
Sebenarnya money politics dalam penyelenggaraan pemilu memiliki cakupan yang lebih luas. Tidak hanya dilihat dari hubungan antara partai politik atau kandidat dengan pemilih, akan tetapi juga harus dilihat di dalam bentuk-bentuk interaksi antara partai politik atau kandidat, penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu), dan pemilih. Kemudian, juga tidak terjadi pada tahapan kampanye dan pemungutan suara saja, akan tetapi juga dapat terjadi pada tahapan lainnya.
Kondisi masyarakat yang menganggap lumrah money politics hampir merata terjadi di Indonesia. Selama pemilu/pilkada digelar di era reformasi, pemenangnya rata-rata adalah kontestan yang didukung dana besar yang mampu membagi uang kepada pemilih. Sangat sedikit atau jarang ditemukan kandidat bisa menang tanpa dana.
Kasus money politics jarang terungkap karena aturan tersebut masih lemah. Kelemahan itu bisa dilihat dalam UU Nomor 7 tahun 2017 pasal 286 yang berbunyi, “(1) Pasangan Calon, calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, pelaksana kampanye, dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi PenyeIenggara Pemilu dan/atau Pemilih”.
Dari norma pasal 286 tersebut, aturan money politics hanya memberikan hukuman kepada kandidat atau tim kampanye resmi yang terdaftar sebagai pemberi barang atau uang (money politics) yang bisa ditindak, sedangkan apabila yang memberikan orang lain yang bukan kandidat dan tim kampanye yang terdaftar di KPU maka pemberi dan penerima money politics tidak dianggap sebagai money politics yang dapat ditindak.
Politik uang (money politics) telah menjadi perbincangan sebagai masalah krusial dalam setiap pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan kepala daerah (pilkada), menggugah keprihatinan mendalam atas masa depan demokrasi dan memunculkan ketidakpastian atas integritas sistem politik kita. Meskipun menghilangkan sepenuhnya praktik ini adalah tugas yang sangat sulit, namun langkah-langkah penanggulangan politik uang harus menjadi prioritas utama dalam persiapan pemilihan kepala daerah serentak pada tahun 2024.
Praktik politik uang (money politics) berpeluang merusak integritas demokrasi dan menciptakan ketidaksetaraan dalam proses politik. Praktik money politics dalam penyelenggaraan pemilu dapat menciderai demokratisasi, merusak sistem politik, menodai fairness proses politik atau lebih jauh lagi invalidasi hasil proses politik. Dengan kata lain, pelanggaran berupa money politics dapat membahayakan demokrasi dan merusak kehendak rakyat dalam menentukan pilihannya.
Hal ini menunjukkan bahwa money politics adalah persoalan serius dalam penyelenggaraan pemilu/pilkada. Terlebih Indonesia sebagai negara yang memilih pemerintahan berbentuk sistem demokrasi. Namun realitas yang terjadi di lapangan, dalam penyelenggaraan pemilu money politics hampir dilakukan secara merata oleh peserta dan partai politik dengan berbagai macam modus pelaksanaannya.
Jadi, mungkinkan Pilkada Kota Semarang 2024 tanpa money politics? Jawabnya adalah tergantung kepada penyelenggara pemilu, para calon kepala daerah, partai politik dan masyarakat Kota Semarang yang akan menentukan nasib daerahnya selama 5 tahun ke depan.
Politik Uang Menyuburkan Budaya Korupsi
Definisi Korupsi menurut World Bank (2000) adalah Penyalahgunaan Kekuasaan Publik untuk Keuntungan Pribadi”. Definisi World Bank ini menjadi standar internasional dalam merumuskan korupsi. Menurut Adib, money politics dan korupsi saling berkaitan. Keduanya adalah fenomena sosial, politik, dan ekonomi yang kompleks. Money politics dan korupsi telah merendahkan institusi demokrasi, memperlambat pertumbuhan ekonomi, dan menyebabkan ketidakstabilan pemerintahan.
Sistem politik liberal (proporsional terbuka dalam pemilu legiuslatif dan pemilihan presiden langsung dan pemilihan kepala daerah langsung) telah menyebabkan menjamurkan money politics sehingga mengakibatkan budaya Politik Transaksional tidak bisa dibendung. Seolah-olah antara politisi dan masyarakat pemilih pun sekarang sudah menjadi pembeli dan pedagang, terjadi transaksi jual beli suara.
Biaya politik kita sudah sangat mahal. Hasil wawancara saya dengan sejumlah caleg saat pemilu legislatif tahun 2024 yang lalu, rata-rata caleg RI yang jadi habis antara 10 – 30 M. Caleg jadi provinsi antara 3-10 M. Caleg jadi kab/kota antara 1-3 M. Ada memang caleg jadi yang habis uang di bawah rata-rata angka tersebut tapi jumlahnya sangat kecil. Hal ini juga terjadi pilpres atau pilkada. Untuk jadi presiden minimal butuh biaya 2-10 trilyun. Untuk jadi gubernur butuh kisaran 300-500 milyar. Untuk jadi bupati atau walikota butuh biaya 50 – 100 milyar.
Uang sebanyak itu tentu semuanya bukan uang pribadi calon, bisa saja uang sumbangan dari pengusaha, bahkan ada yang dari botoh (penjudi politik). Sedangkan gaji mereka setelah terpilih tidak bisa menutup biaya politik yang sudah dikeluarkan apalagi ditambah ada iuran partai, biaya aspirasi konstituen dan biaya-biaya gaya hidup. Sehingga akan dilakukan berbagai macam cara dan langkah pintas yang bisa dengan cepat dapat mengembalikan modal politik sekaligus mempersiapkan untuk biaya politik pemilu berikutnya. Sayangnya biasanya dengan menjadikan APBN / APBD untuk sapi perahan.
Data Transparansi Internasional Indonesia (TII) tahun 2021 melaporkan selama ini uang rakyat dalam praktek APBN dan APBD menguap sekitar 30-40 persen oleh perilaku korupsi. Modus operandi korupsi yang paling banyak, sebesar 70 persennya pada pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah. Sehingga perlu adanya sistem yang kuat, yang menjamin uang rakyat tersalurkan secara tepat guna dan tepat sasaran.
Data tersebut, menunjukkan ada potensi kebocoran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) mengalami kebocoran antara 30 hingga 40 % tiap tahun. Artinya jika APBN kita sekitar tiga ribu trilyun berarti ada potensi kebocoran seribu trilyun. Sementara Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) pada tahun 2020 baru bisa menyelamatkan sekitar 5 trilyun, artinya baru bisa menyelamatkan kurang 1 % dari potensi kebocoran APBN APBD. Padahal uang seribu trilyun yang menguap itu bisa untuk membiayai pendikan gratis hingga perguruan tinggi, membiayai kesehatan gratis masyarakat, bisa membangun jalan dan bisa untuk modal usaha pelaku UMKM agar rakyat makmur sejahtera.
Money Politics dan Korupsi Mengancam Bangsa Indonesia
Tantangan terberat bangsa Indonesai saat ini adalah berjuang melawan budaya money politics dan korupsi. Money politics dan korupsi adalah bahaya laten yang bisa membawa bangsa ini jatuh dalam kebangkrutan. Jangan sampai negara yang sudah didirikan dengan susah payah oleh para pendiri NKRI ini jatuh karena budaya money politics dan korupsi yang meraja lela, hal ini patut kita khawatirkan karena masyarakat termasuk para akademisi dan para ulama pun seolah-olah sudah mulai apatis bahkan permissive, seolah-olah sudah menganggapnya sebagai hal yang lumrah, ini kan berbahaya bagi masa depan bangsa Indonesia.
Bangsa Indonesia ini punya potensi besar untuk maju sebagai negara maju. Kelebihan kita ini memiliki tanah air yang luas, kaya sumber daya alam, penduduk yang besar 282.477.584 jiwa (87 % beragama Islam yang moderat), mempunyai ideologi pemersatu Pancasila dan kayak dengan budaya lokal. Sayangnya kita memiliki kelemahan yang parah. Akibat sistem politik dan ekonomi pasar bebas (individualis) yang belum dimbangi dengan Sumber daya manusia (SDM) yang unggul dan sejahtera serta rapuhnya karakter bangsa, sehingga budaya money politics dan korupsi semakin merajalela.
Ancaman terberat bangsa kita adalah ketika sudah membudaya praktek korupsi dan masyarakat sudah menganggapnya sebagai hal lumrah. Hal ini akan mudah menyebabkan konflik internal akibat mulai merebaknya budaya individualisme, sehingga rentan disintegrasi bangsa. Ini yang harus kita tanggulangi. Padahal punya peluang untuk menjadi bangsa yang besar manakala mampu menjaga ideologi nasional nasional, mengelola SDM dan SDA dengan baik, sehingga visi Indonesia Emas 20245 bisa terwujud.[]