SEMARANG, nukotasemarang.com – Ketokohan KH Sholeh Darat sempat pudar. Namun atas perjuangan gigih Agustianto, akhirnya nama besar maha guru ulama Nusantara itu kembali eksis dalam berbagai literasi Sejarah Nusantara.
Agustianto yang bergelar Suryonegoro dari kraton Surakarta ini sekarang bermukim di Klaten dan bekerja sebagai penyuluh di Kantor Kementerian Agama.
Aktifitas Agustianto sebagai penyuluh membuatnya banyak mengulik kitab klasik agama Islam karya Ulama Nusantara.
Namun ada satu hal yang menyesakkan dirinya, sebagai suami dari Evi Isnadia yang merupakan keturunan ke-4 Mbah Sholeh, terlecut rasa untuk mengkaji lebih dalam seluruh karya-karya leluhurnya dari garis mertua itu.
Berbicara tentang Evi Isnadia, dia memiliki ayah Bernama H Muhammad Ali, kakek Bernama H Kholil, dan sampai pada buyutnya KH Sholeh Darat atau Mbah Sholeh Darat.
“Mbah Sholeh darat itu kelahiran dari Jepara, Kecamatan Mayong. Saat itu Mayong masih sebagai Kota maka dicatatannya lahir di Kota Mayong tahun 1820 M. Ayahnya (Kiai Umar) adalah seorang pejuang pendukung Pangeran Diponegoro,” ujarnya saat diwawancara pada Kamis (10/4/2025) usai prosesi haul ke 125 KH Sholeh Darat di makam Bergota Semarang.
Saat perang jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro berakhir karena kecurangan Belanda lalu kemudan membuang sang Pangeran ke Makassar.
Di situ kemudian Mbah Umar (Kiai Umar) bersama pengikut Pangeran Diponegoro diburu oleh Belanda.
Oleh sebab itu, banyak pengikut Pangeran Diponegoro pergi ke Mekkah, termasuk Mbah Umar yang mengajak serta putranya, yaitu Sholeh.
Di Mekkah, Sholeh kecil fokus belajar sekaligus menunaikan ibadah haji di sana sampai puluhan tahun hingga menjadi pengajar di Masjidil haram. Di sana Sholeh belajar bersama ratusan calon ulama dari jawa.
Tiba di Semarang
Pada suatu saat para ulama-ulama Jawa menginginkan figur ulama penggerak umat seperti halnya pangeran Diponegoro.
Pasalnya, pasca wafatnya pangeran Diponegoro di Jawa tidak ada lagi ulama yang berpengaruh.
“Nah satu-satunya pewaris perjuangan pangeran Diponegoro yang dianggap pantas meneruskan perjuangan Pangeran Diponegoro itu Mbah Sholeh darat,” tandas Agustianto.
Agustianto menilai bahwa pada saat itu Mbah Sholeh dianggap sebagai orang jawa asli yang memiliki pengetahuan mendalam tentang agama dan sistem kemasyarakatan.
“Nah akhirnya ulama-ulama senior dari jawa yang diawakili oleh Mbah Hadi Girikusimo meminta para ulama Jawa yang di Mekkah diminta pulang ke Jawa. Nah para ulama yang pulang itu menaiki kapal yang berlabuh di Semarang,” tuturnya.
Saat sampai Semarang, Mbah Sholeh Darat memutuskan untuk menetap di Kampung Darat Semarang Utara.
Di sana Mbah Sholeh membangun reputasi sebagai ulama berilmu tinggi dan terdengar hingga ke para ulama di seluruh pulau Jawa.
Reputasi itulah yang membuat banyak calon ulama besar dan tokoh nasional berguru kepadanya seperti Hasyim Asy’arie pendiri NU, Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah, hingga RA Kartini yang menjadi tokoh emansipasi Wanita di Indonesia.
Pada kurun waktu 1800 hingga 1900 an, Semarang terkenal sebagai pusat ilmu dan pusat pergerakan nasional.
Terbukti dengan banyaknya tokoh yang datang ke Semarang seperti HOS Cokro Aminoto, Tan Malaka, Oei Tiong Ham, KH Hasyim Asy’arie, KH Ahmad Dahlan, Semaun, Alimin, Snevliet, Soegijapranata, dan lain-lain.
Dengan nuansa ilmu yang kental di Semarang, membuat Mbah Sholeh berhasil menulis banyak karya.
Saat ini, tercatat secara resmi ada 20 karya monumental yang berupa kitab-kitab berbahasa Jawa karangan Mbah Sholeh.
“Nah kitab karya Mbah Sholeh yang paling monumental itu Maj’muk Syari’ah dan tafsir Faidur Rahman. Kalau Kitab Majmuk Syari’ah itu yang utama itu tentang panduan beribadah, tauhid, dan akhlak. Kalau Tafsir Al-Qur’an Faidur Rahman itu satu-satunya tafsir yang bernuansa tasawuf,” bebernya.
“Nah kitab-kitab ini kemudian menjadi panduan bagi umat Islam Jawa karena memang kitabnya ditulis menggunakan aksara arab berbahasa jawa (pegon),” tutur Agustianto.
Dalam setiap karya Mbah Sholeh itu pasti terdapat pesan mendalam tentang perlunya membela negara yang saat itu masih di jajah.
Selain itu, dia juga mengajarkan agar orang Islam memiliki identitas sendiri yang tidak mengikuti identitas penjajah. Pendek kata, Mbah Sholeh mengajarkan anti kolonialisme secara keilmuan dan kultural.
Dari hasil pengajarannya inilah dia mampu mencetak murid-murid yang menjadi tokoh nasional sehingga cita-cita Indonesia Merdeka itu bisa terlaksana.
Pondok Pesantren Darat
Namun meskipun memiliki peran yang sangat besar dalam mencetak tokoh-tokoh pergerakan, nama Mbah Sholeh sempat lama terkubur bersama jasadnya.
Bahkan warisannya berupa pondok pesantren di Kampung Darat juga lenyap, hanya tersisa Masjid yang tak terawatt hingga akhir 1980-an.
“Jadi gini ya, Pondok Pesantren Kampung Darat itu dulunya sangat terkenal seantero Jawa. Tapi setelah Mbah Sholeh Darat meninggal serta para muridnya menjadi tokoh nasional dan berpindah domisili ke berbagai kota, di situ Pondok darat mulai kehilangan pamornya,” beber Agustianto.
Bahkan Agustianto menerangkan pada tahun 1980-an orang Semarang sendiri tidak tahu keberadaan Pondok Darat dan melupakan Mbah Sholeh.
Sampailah pada tahun 1990 penggalian sejarah Mbah Sholeh darat dilakukan oleh orang-orang dari luar kota yang mengetahui bahwa tokoh-tokoh di kotanya adalah murid Mbah Sholeh darat.
“Nah kami dari pihak keturunannya (yang bermukim di Klaten) berupaya memperkenalkan lagi dengan kembali ke Semarang lalu melakukan bedah karya Mbah Sholeh di Kampung Darat,” tandasnya.
Dari situ, Agustianto kerap melaksanakan peringatan maulid nabi di Kampung darat serta menggelar peringatan Labuhan, sebuah peringatan untuk mengenang datangnya ulama-ulama Jawa yang pulang dari Mekkah.
Mulai dari situ Agustianto dan keluarga mengadakan banyak seminar dan mulai menggelar haul Mbah Sholeh Darat.
“Lalu nama Mbah Sholeh kembali mencuat di media massa dan akhirnya masyarakat mengenal kembali Mbah Sholeh Darat,” ungkapnya.
Usulkan Gelar Pahlawan Nasional
Barulah kemudian banyak akademisi dan peneliti yang menggali Sejarah keberadaan Mbah Sholeh sehingga saat ini menghiasi literasi ilmiyah. Tak sampai di situ, Pimpinan Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Semarang berinisiatif mengsulkan nama KH Sholeh Darat sebagai pahlawan Nasional.
“Untuk upaya mendapatkan gelar pahlawn nasional bagi Mbah Sholeh Darat ini kami sudah mengumpulkan data-data, sudah mengadakan penelitian akademis, juga sudah Menyusun tentang draft-draft indeks penelitian,” ungkapnya.
Dalam waktu dekat tim pengusul gelar Pahlawan nasional untuk KH Sholeh Darat akan mengadakan seminar sekali lagi lalu mengajukan penyematan gelar secara formal kepada Pemkot Semarang sebelum ke Provinsi dan Pemerintah pusat.
“Pemkot Semarang nantinya akan memberikan Surat Keputusan (SK) Panitia Pengusulan Pahlawan Nasional. Sehingga dari sini komitmen Pemerintah Kota Semarang akan lebih nyata,” tutup Agustianto.