Mbah Dim, Kiai Sederhana Yang Mewariskan Ilmu dan Santri Pejuang

SEMARANG, nukotasemarang.com – Dunia Islam kehilangan satu lagi ulama kharismatik yang baru saja meninggal di Rumah Sakit Tlogorejo, Semarang pada Jum’at dini hari (10/6/2022) sekitar pukul 01.13 WIB di Ponpes Al-Fadlu Kendal. Dia adalah pengasuh pondok pesantren tersebut yang telah menelurkan banyak alumni yang berkiprah di berbagai bidang. Dia adalah KH. Dimyati Rois yang meninggal diusia 77 tahun. Kiai Dimyati adalah Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) periode 2022-2027

Pria kharismatik yang akrab disapa Mbah Dim ini lahir pada 5 juni 1945 di Tegal Glagah Bulakamba, Brebes, Jawa Tengah. Beliau merupakan putra kelima dari sepuluh bersaudara yaitu dari pasangan KH. Rois dan Nyai Djusminah.

Latar belakang Dimyati adalah asli keturunan petani dan santri baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu. Selain itu, kedua orang tuanya selalu mengajarkan dan melatih kepada putra-putrinya untuk senantiasa taat dalam beribadah. Dalam keularga petani ini, Dimyati memiliki kakak dan adik antara lain Saudara-saudara beliau diantaranya Ny. Khanifah, KH.Tohari Rois, KH. Masduki Rois, H. Murai Rois, KH. Saidi Rois, Ny. Khotijah, KH. Syatori Rois, Ny. Mukoyah dan Ny. Daroroh.

Dimyati kecil memang sudah terlihat berbeda jika dibandingkan dengan para saudaranya yang lain, dia begitu pendiam, tetapi rajin, disiplin dan ulet. Dengan sikap rajinnya tersebut, dia memulai pendidikannya dengan belajar di di SR (Sekolah Rakyat). Di sekolah formal tersebut Dimyati menyelesaikannya dan mendapatkan sertifikat sebagai tanda kelulusan.

Setelah selesai pendidikan formal, kemudian pada sekitar tahun 1956 Dimyati melanjutkan pendidikannya dengan belajar di Pondok Pesantren APIK , Kauman, Kaliwungu, Kendal yang diasuh oleh KH. Ahmad Ru’yat. Dim mondok di Pondok Pesantren APIK selama kurang lebih 14-15 tahun.

Setelah selesai di Pondok Pesantren APIK, kemudian dia melanjutkan pendidikannya dengan berguru kepada KH. Mahrus Aly di Ponpes Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, akan tetapi itu hanya sebentar dan setelah itu kemudian dia melanjutkan berguru pada Mbah Imam, pengasuh Pondok Pesantren Sarang, Rembang, Jawa Tengah, di sana dia hanya belajar kurang lebih sekitar 5 tahun.

Namun, setelah beberapa tahun berkelana menuntut ilmu di daerah Rembang, Tuban dan Kediri, pada akhirnya Dimyati kembali lagi ke Pondok Pesantren APIK, Kauman, Kaliwungu, Kendal. Tak berapa lama kemudian, dia diangkat menjadi Lurah Pondok oleh Pengasuh Pondok Pesantren APIK, yaitu KH. Humaidullah Irfan (kakak KH. Ibadullah Irfan).

Ilmu-ilmu yang dia pelajari selama beliau di pondok antara lain ilmu nahwu, sorof, ushul fiqh, kitabnya Imam Al-Ghazali dan masih banyak lagi kitab-kitab yang lainnya. Kecerdasan Dimyati muda telah nampak diwaktu masih belajar di pondok yang beliau singgahi, selama beliau di pondok tidak ada waktu yang terlewati dengan sia-sia. Melainkan digunakan untuk belajar, maka tidak aneh jika Dimyati memiliki wawasan yang luas tentang keislaman.

Setelah beberapa waktu lamanya Dimyati menjalani proses panjang menjadi seorang santri dan belajar bersama kiai di beberapa pondok pesantren; diantaranya Pondok Pesantren Lirboyo dan APIK Kaliwungu. Dengan mempelajari aneka ragam kitab kuning yang berisi pengetahuan agama, kemudian dengan kesungguhan dalam belajar dengan memaksimalkan fungsi kecerdasan yang Allah berikan kepada beliau, maka jadilah beliau sosok yang matang dalam memahami ilmu-ilmu agama. Sehingga akhirnya beliau diambil menantu oleh KH. Ibadullah Irfan, sesepuh dan tokoh masyarakat Kaliwungu sekaligus salah satu Pengasuh Pondok Pesantren APIK Kaliwungu periode 1968 – 1985.

Pada 1 Januari 1978, Dimyati melepas masa lajangnya dengan menikahi Hj. To’ah, putri tunggal dari pasangan KH. Ibadullah dan Hj. Fatimah.

Buah dari pernikahan Dimyati dan To’ah, lahirlah sepuluh putra-putri yang saat ini berkiprah di berbagai bidang dan berkontribusi besar terhadap perkembangan sosial dan maayarakat antara lain yaitu, H. Gus Fadlullah yang menjadi salah satu tokoh modernisasi pondok pesantren, H. Gus Alamudin BA seorang politisi senior dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Hj. Ning Lailatul Arofah seorang tokoh gerakan perempuan di Kendal, serta H. Gus Qomaruzzaman, Hj. Ning Lama’atus Sobah, H.Gus Hilmi, H.Gus Thoha Mubarok, H.Gus Husni Mubarok, H.Gus M. Iqbal dan Gus Abu Khafsin Almuktafa yang bahu membahu membesarkan pondok pesantren dan majelis taklim Al-Fadlu Kaliwungu Kendal.

Dimyati membekali putra-putrinya dengan nilai-nilai agama Islam, mengajari putra-putrinya untuk menuntut ilmu dan terus belajar, karena menurut beliau bahwa seseorang tidak akan menjadi pandai tanpa adanya suatu proses pembelajaran.

Pada pada tanggal 10 Muharam 1405 atau bertepatan dengan bulan Juli 1985 Dimyati mendirikan Pondok Pesantren Al-Fadlu wal Fadilah di Kampung Djagalan, Kutoharjo, Kaliwungu, kendal. Dari sini dia mampu menelurkan ulama-ulama yang menjadi murid beliau di antaranya; KH Kafabihi Mahrus yang saat ini menjadi ketua MUI Kediri dan ektor Institut Agam Islam Tribakti Kediri, KH M Zainal Arifin Ma’shum yang saat ini masih menjabat sebagai Rois Suriyah PCNU Demak serta pernah menjadi Ketua Dewan Syuro PKB, lalu ada KH Subhan Makmun yang pernah menjadi penasehat partai PPP dan hingga saat ini masih memimpin MUI Brebes.

KH Dimyati Rois sendiri banyak terlibat di berbagai organisasi di antaranya; Muhtasyar PBNU, Tim Ahlul Hal Wal Aqdi (AHWA) yang berjumlah 9 ulama khos se-Indonesia 2015 di Jombang dan di Lampung 2021, serta Ketua Dewan Syura DPP PKB.

Banyak karier yang beliau duduki di antaranya; Pengasuh pesantren Al-Fadlu wal Fadilah yang ia dirikan di Kp. Djagalan, Kutoharjo, Kaliwungu pada 1985 dan Menjabat anggota MPR RI melalui jalur Utusan Golongan yang diajukan PPP (Partai Persatuan Pembangunan).

Sebagai seorang ulama KH. Dimyati Rois memiliki kepribadian yang sangat baik dan penuh kesederhanaan, baik dengan para pengikut (santrinya) maupun dengan masyarakat yang lain. Kesederhanaan beliau ditunjukan dengan berpakaian yang sederhana, dan beliau juga tidak akan makan apabila tidak benar-benar lapar.

Selain itu beliau juga suka bergaul dengan siapapun, baik dengan pedagang, pejabat, orang kaya, orang miskin, buruh bahkan anak-anak. Beliau terkenal sebagai seorang yang sabar, pemurah dan ramah, disamping itu beliau tidak mengajarkan sesuatu yang tidak beliau kerjakan, dengan kata lain segala sesuatu yang beliau ajarkan atau berikan pada muridnya sudah atau sedang ia kerjakan sendiri.

Hal ini merupakan salah satu faktor yang membuat para santri maupun jamaahnya simpatik terhadap kepribadian beliau, sehingga petuah dan ajaran-ajarannya dapat diterima dan sangat diperhatikan oleh para jamaah pada umumnya dan oleh para santri pada khususnya.

Salah satu kelebihan yang tidak banyak dimiliki kiai lain adalah kemampuannya dalam kewirausahaan. Tak hanya mengajar mengaji, beliau memiliki berbagai usaha yang menghasilkan uang sekaligus melatih para santrinya untuk bisa berwirausaha, terutama dalam bidang pertanian dan perikanan. Beliau juga dikenal sebagai kiai yang banyak memiliki ilmu hikmah atau ilmu kesaktian. Hal ini menambah kewibawaannya di kalangan masyarakat.(Mushonifin)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *