Evaluasi Demokrasi di Indonesia

SEMARANG, nukotasemarang.com – Ahad, 11 Februari 2024, hari tenang jelang pemungutan suara pemilu 14 Februari 2024, Pengurus Koordinator Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PKC PMII) Jawa Tengah mengadakan diskusi bertajuk masa depan demokrasi di Indonesia, bertempat di aula pondok pesantren Az Zahro Bustanul Qur’an, Jl. KH. Thohir Gang Sunan Kalijaga X Nomor 5 Kelurahan Penggaron Kidul Kecamatan Pedurungan Kota Semarang.

Bertindak sebagai narasumber adalah Dr. M. Kholidul Adib, MSI, yang sekaligus anggota Majlis Pembina Daerah atau Mabinda PKC PMII Jawa Tengah.
Tema diskusi tersebut mengacu pada perkembangan demokrasi di Indonesia yang akhir-akhir ini dianggap para aktivis mengkhawatirkan, bahkan sejumlah pengamat menilai demokrasi Indonesia terancam oleh rezim Jokowi sebagai kepala negara yang memihak salah satu capres cawapres.

Sikap Presiden Jokowi yang mendukung capres nomor 02 (Prabowo-Gibran) dianggap cermin retak demokrasi yang tidak bagus untuk dicontoh karena membahayakan masa depan demokrasi.

Lantas bagaimana masa depan demokrasi di Indonesia?
Banyak guru besar perguruan tinggi terkemuka di negeri ini yang menyayangkan sikap istana yang begitu vulgar memihak pasangan capres cawapres nomor 02 disertai dugaan memainkan aparat negara dan anggaran negara melalui program bansos yang total nilainya mencapai 500 Trilyun yang dicurigai untuk mempengaruhi masyarakat agar mengikuti pilihan politik Jokowi dalam memenangkan Prabowo – Gibran dalam pemilu presiden 2024.

Menurut M Kholidul Adib, apa yang dilakukan para guru besar itu bisa dimaklumi karena kepala negara dalam sebuah negara demokrasi dibatasi. Hal itu juga bagian dari adanya kontrol masyarakat sipil untuk mewujudkan demokrasi yang sesungguhnya dimana rakyat adalah pemegang kedaulatan.
Menurut Adib, demokrasi bisa berjalan dengan baik minimal membutuhkan lima prasyarat.

Pertama, adanya pemilu yang jujur dan adil. Pemilu yang jujur dan adil meniscayakan adanya penyelenggara pemilu yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang independen dan professional. Jangan sampai KPU dan Bawaslu justru bekerja untuk calon tertentu. Termasuk penyelenggara pemilu di tingkat Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan pengawas pemilu tingkat TPS juga harus independen dan professional. Soalnya banyak ditemukan penyelenggara pemilu yang tidak netral sehingga merugikan calon tertentu.

Kedua, adanya netralitas aparat negara, seperti presiden, menteri, gubernur, bupati, walikota bahkan lurah atau kepala desa, militer sebagai aparat negara yang bertanggung jawab dalam urusan pertahanan negara juga tidak boleh berpolitik atau dijadikan alat politik penguasa, kepolisian sebagai lembaga keamanan dan ketertiban, aparat hukum benar-benar obyektif dan netral tidak dijadikan alat untuk menyandera orang, pegawai negeri sipil (PNS) fokus melayani masyarakat tidak jadi alat politik penguasa, komisi pemberantasan korupsi (KPK) juga harus independen bukan menjadi alat menyandera pihak yang tidak disukai penguasa, dan lain seterusnya. Kalau mereka mau berpolitik atau terlibat dukung mendukung maka mereka harus cuti.

Ketiga, pembagian kekuasaan sebagaimana trias politica dimana lembaga eksekutif (pelaksana pemerintahan), legislatif (regulasi dan pengawasan) dan yudikatif (kehakiman) berjalan secara seimbang, bukan malah salah satu lembaga mengendalikan lembaga yang lain, misalnya, penguasa lembaga eksekutif mengendalikan yudikatif dan legislatif.

Keempat, partai politik sebagai pilar demokrasi harus mandiri ditopang ideology dan visi perjuangan yang jelas termasuk kaderisasi yang berjalan dengan baik. Selama ini hanya partai tertentu yang bagus dari sisi ideologisasi dan kaderisasi misalnya PDI Perjuangan dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Partai-partai lain masih perlu ditingkatkan dalam hal ideologisasi dan kaderisasi.

Kelima, kekuatan masyarakat sipil yang didorong oleh kelas menengah berjalan dengan baik misalnya aktifnya para akademisi, agamawan, mahasiswa, aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) maupun ormas. Mereka dapat aktif dalam mengontrol jalannya pemerintahan. Kelas menengah yang baik itu dicirikan oleh tingkat pendidikan, ekonomi dan kesadaran untuk taat hukum. Termasuk kekuatan masyarakat sipil adalah adanya peran media massa yang sangat penting untuk menyuarakan kebenaran dan tidak partisan.

Jika bangsa Indonesia sudah mapan dari sisi pendidikan, ekonomi dan supremasi hukum, maka demokrasi akan mengarah pada terwujudnya demokrasi yang substantif. Hingga sekarang nasib demokrasi di Indonesia masih tahap konsolidasi demokrasi, setelah berhasil melewati masa transisi demokrasi di awal reformasi.
Konsolidasi demokrasi dibuktikan dengan keberhasilan bangsa Indonesia dalam menyelenggaran pemilihan presiden secara langsung tahun 2004, pemilihan umum kepala daerah secara langsung tahun 2005, pemilihan anggota dewan perwakilan rakyat (DPR) baik tingkat pusat maupun daerah secara langsung pula dengan proporsional terbanyak tahun 2009.

Adib menjelaskan, secara prosedural demokrasi, bangsa Indonesia sudah berhasil menjadi negara demokrasi, tapi secara substansial belum, karena demokrasi yang mestinya menjadikan kedaulatan benar-benar di tangan rakyat tapi hakikatnya rakyat Indonesia belum sepenuhnya berdaulat.
“Demokrasi itu Daulat Rakyat, bukan Daulat Tuanku. Sedangkan yang terjadi di Indonesia walau secara lahiriyah sudah menyatakan daulat rakyat tapi dalam prakteknya masih feodal seperti dalam tradisi di kerajaan yang memegang ajaran Daulat Tuanku,” ujar Adib.

Adib juga menilai rakyat masih menjadi obyek pembangunan belum menjadi subyek pembangunan. Bahkan dalam pemilu pun rakyat belum bisa menjadi penentu karena elit bisa membuat skenario untuk menggiring rakyat memilih calon tertentu. Ditambah maraknya money politics yang dilakukan oknum para calon anggota dewan melalui tangan panjang tim suksesnya masing-masing.
Dalam situasi hari tenang ini banyak caleg dan tim sukses yang berhitung logistik untuk membagi amplop kepada para pemilih. Bagi para caleg yang benar-benar hampir rata-rata menyebar amplop kepada para pemilih.

Menurut Adib, money politics sangat membahayakan demokrasi karena akan membuat rakyat tidak bisa memilih secara rasional murni. Sebaliknya money politics akan semakin menyuburkan korupsi di Indonesia karena caleg yang terpilih setelah dilantik yang dipikirkan dulu adalah cara mengembalikan modal politik.
Berapa modal politik caleg agar jadi anggota dewan? Dalam pengamatan Adib, jumlah uang yang dibagi berbeda-beda sesuai kesiapan caleg.

Hari tenang mulai persiapan serangan fajar, istilah menunjuk operasi money politics para caleg, isi serangan ada yang berupa uang dan ada pula yg berupa barang.
Adib menyampaikan bahwa pekan lalu viral video sejumlah anak muda sedang memasukkan uang 100.000 ke dalam amplop kemudian si narator menyebut uang yang dimasukkan dalam amplop sejumlah Rp. 2.100.000.000 (dua milyar 100 juta). Tidak diketahui dimana dan siapa yang berada dalam video yang sedang viral tersebut. Si narator hanya bilang itu uang dalam amplop siap disebar. Banyak orang menduga itu kaitannya dengan money politics atau serangan fajar karena video ini beredar di hari-hari terakhir masa kampanye jelang hari H pemungutan suara. Jika dilihat tiap amplop diisi uang Rp. 100.000 maka total ada 21.000 amplop yg mau disebarkan ke pemilih, kemungkinan untuk caleg DPRD Kab/Kota. Kalau si caleg nyebar 21.000 amplop dengan isi uang Rp. 100.000 per amplop kalau menyebarnya agak tepat sasaran dan dapat suara 50% saja maka dia akan dapat 10,500 suara dan kemungkinan besar sudah lolos jadi anggota DPRD Kab/Kota.

Info yang didapat, untuk caleg DPR RI dan Provinsi pada hari H rata-rata butuh 8 milyar jika dipecah Rp. 20.000 bisa menjadi 400.000 amplop. Amplop isi Rp. 20.000 ini misalnya masih laku untuk DPR RI dapil 2 Jateng yang mencakup Kudus, Jepara dan Demak. Kalau melihat tren pemilu 2019 masih ada caleg DPR RI dan Provinsi dapil 2 Jateng yang membagi amplop isinya segitu. Untuk pemilu 2024 mungkin sudah naik. Kalau nyebar 400.000 amplop kemungkinan jadi suara sekitar 30% saja akan bisa dapat sekitar 100-150 ribu suara. Dengan suara segitu sudah jadi DPR RI. Kalau ditambah biaya pembuatan dan pemasangan baliho, operasional caleg dan tim sukses, konsumsi transportasi rapat-rapat tim dalam enam bulan dan untuk honor saksi misalnya hampir butuh 2 M maka rata-rata caleg DPR RI butuh angka 10 M untuk bisa jadi DPR RI.

Itu kalau caleg tajir melintir, tetapi ada juga caleg bondo nekat. Misalnya ada caleg yang pada hari H cuma bisa membagi stiker sama garam seharga 2 ribu rupiah. Sasaranya ibu-ibu. Kata sang caleg, kalau ibu-ibu masak tanpa diberi garam rasanya gak enak. Jadi garam itu penting. Dia mungkin ingat masa Romawi Kuno ketika harga garam lebih mahal daripada harga emas. Kenapa money politics sedemikian massif dalam pemilu di Indonesia?
Menurut Adib, ada beberapa faktor penyebab massifnya money politics, di antaranya faktor struktural yaitu aturan hukuman bagi pelaku yang bisa dijerat tindak pidana money politics itu hanya calon, sebaliknya jika yang memberi bukan calon dan bukan tim sukses yang resmi terdaftar maka tidak bisa dijerat. Selain itu juga faktor sosial ekonomi dan kultural karena masyarakat kita banyak yang belum sejahtera sehingga mudah menggadaikan suaranya dengan materi. Di samping itu juga masalah mental miskin yang masih kuat. Selain itu para caleg dan partai politik tidak dapat melakukan pendidikan politik kepada masyarakat dengan menyelami permasalahan mereka kemudian bersama-sama membangun cita-cita untuk kemajuan bersama.

Adib menjelaskan bahwa Indonesia adalah negara demokrasi dan harus dikawal oleh semua rakyat. Jangan sampai demokrasi dikerdilkan oleh segelintir elit. Inti dari demokrasi adalah supremasi hukum atau penegakan hukum.
Di Indonesia hukum ini masih tajam ke bawah tumpul ke atas. Hukum masih tebang pilih. Aparat hukum masih ada yg suka mempermainkan kasus karena adanya Markus. Untuk konteks pemilu bahwa pengawasan masih belum maksimal, hampir banyak orang tahu adanya money politics tapi Bawaslu seringnya menunggu kalau ada laporan. Anehnya undang-undang pemilu dibuat hanya bisa mengkasuskan caleg atau tim sukses yang terdaftar yang bisa dijerat ketika terbukti money politics, jadi kalau pelaku money politics itu bukan caleg atau tim sukses yang terdaftar maka itu dianggap bukan money politics inilah kenapa kemudian banyak pelaku yang lolos karena yang memberikan uang kepada pemilih itu bukan caleg dan bukan tim sukses yang terdaftar, tapi tim informal sehingga ketika dia memberikan uang kepada pemilih dan misalkan ditangkap dia tetap bisa lepas dari jeratan undang-undang pemilu.

Adib menegaskan, massifnya money politics dalam pemilu itu karena penegakan hukum tidak berjalan maksimal. undang-undang pemilu hanya mengatur pelaku yang bisa dipidana ketika melakukan money politics adalah calon, baik capres cawapres atau caleg, maka kalau yang membagi uang itu bukan calon langsung maka aman. Di sinilah para calon itu bisa menitipkan uang kepada orang lain (biasa disebut tim sukses atau tim relawan) untuk dibagikan kepada pemilih yang sudah dicatat sebelumya, sehingga dia akan bisa lepas dari jeratan hukum money politics.
Mestinya undang-undang pemilu mengatur siapa saja (baik caleg atau tidak) yang ngasih uang atau barang kepada pemilih untuk mempengaruhi pilihannya itu maka dia bisa dipidana. Kalau UU dibuat begitu maka akan banyak orang berpikir dua kali untuk membagikan amplop kepada masyarakat karena siapapun yang memberikan amplop mempengaruhi pilihan masyarakat dia bisa dipidana. Jadi pangkal masalahnya ada pada UU pemilu. [Tatang]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *