KH Abdullah Mudzakir: Ulama Pesisir, Pencetak Kiai, dan Karomah yang Mengakar

Oleh: Adib dan Widodo

Di tengah denyut kehidupan pesisir Demak, tepatnya di Dusun Tambaksari, jejak seorang ulama besar masih terasa begitu kuat hingga hari ini. KH Abdullah Mudzakir, atau yang lebih dikenal masyarakat dengan sebutan Mbah Mudzakir, bukan sekadar tokoh keagamaan biasa. Ia adalah representasi nyata dari seorang ulama yang tidak hanya menanam ilmu, tetapi juga membangun peradaban spiritual melalui dakwah, kaderisasi, dan teladan hidup yang penuh kesederhanaan dan karomah.

KH Abdullah Mudzakir lahir pada tahun 1878 di Dusun Jago, Desa Wringinjajar, Kecamatan Mranggen, sebuah desa agraris yang tenang namun sarat sejarah. Ayahnya, Mbah Ibrahim Suro, adalah keturunan langsung dari seorang panglima perang Pangeran Diponegoro—figur perjuangan yang menjadi simbol perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Sementara ibunya merupakan keturunan Mbah Shodiq, seorang tokoh setempat yang diyakini masih memiliki garis keturunan dari Sunan Pandanaran, atau dikenal pula sebagai Sunan Tembayat.

Nama kecil Mbah Mudzakir adalah Juraimi. Nama “Abdullah Mudzakir” mulai digunakan pasca-kepulangannya dari ibadah haji pada tahun 1925 sebagai bentuk tabarrukan atau pengharapan keberkahan dari Allah SWT. Sejak saat itu, masyarakat lebih mengenal sosoknya sebagai Syekh Mudzakir.

Belajar pada Para Ulama Besar

Pencarian ilmu Mbah Mudzakir tidak berhenti di kampung halamannya. Ia merantau ke berbagai daerah, mempelajari Islam dari para guru ternama. Salah satu guru yang sangat memengaruhi corak pemikirannya adalah Mahaguru al-Amin al-Allamah al-Syaikh Muhammad Sholeh bin Umar al-Samarani al-Jawi al-Syafi’i—yang lebih dikenal sebagai Mbah Sholeh Darat. Ulama karismatik dari Semarang ini juga menjadi guru dari RA Kartini, Kyai Ahmad Dahlan Pendiri Muhammadiyah, dan Kyai Hasyim Asari pendiri Nahdatul Ulama (NU)  dan banyak tokoh pergerakan lainnya.

Selain kepada Mbah Sholeh Darat, Mbah Mudzakir juga sempat berguru pada KH Abbas dari Buntet, Cirebon. Kedalaman ilmu dan luasnya jaringan ulama yang ia temui memperkaya wawasan keagamaannya, yang kelak menjadi bekal saat beliau mengabdi di wilayah pesisir Demak.

Dusun Tambaksari: Basis Dakwah dan Kaderisasi

Sekitar tahun 1900, Mbah Mudzakir menetap di Dusun Tambaksari, sebuah wilayah yang berada di tepian laut Sayung, Demak. Di sinilah beliau mulai menanamkan dakwah secara konsisten. Pilihan lokasi tersebut bukan tanpa pertimbangan. Wilayah pesisir merupakan titik temu berbagai kultur dan kepercayaan. Kehadiran Mbah Mudzakir membawa cahaya Islam dalam pendekatan yang lembut namun tegas.

Ia tidak hanya mengajarkan agama dalam arti formal, tetapi membangun struktur sosial yang Islami. Mbah Mudzakir mendirikan masjid sebagai pusat aktivitas keagamaan dan pendidikan. Dari masjid inilah, ia melakukan kaderisasi kiai—proses pendidikan berjenjang dan berkesinambungan yang membentuk para santri menjadi pemimpin agama di kampung halamannya masing-masing.

Cara dakwah Mbah Mudzakir dikenal sederhana namun efektif. Ia menggunakan bahasa yang mudah dipahami, dan dalam proses pengajaran, ia melibatkan anak-anaknya untuk turut mendampingi santri. Tak heran, jika banyak santrinya kemudian menjadi tokoh agama, guru ngaji, dan imam masjid di berbagai pelosok Demak.

Kiprah Mbah Mudzakir tidak berhenti pada masa hidupnya. Ia menikah dengan empat istri: Mbah Murni, Latifah, Ni’mah, dan Asmanah. Dari keempat istri tersebut, ia dikaruniai 25 anak. Sebagian besar keturunannya kemudian menjadi kiai, pendiri pesantren, dan pengasuh masjid serta musholla. “Beliau bukan hanya seorang guru spiritual, tetapi juga pengayom keluarga yang berhasil membangun generasi ulama,” ujar salah seorang cucunya dalam suatu acara haul keluarga. Banyak di antara keturunan beliau yang mendirikan lembaga pendidikan keislaman, mulai dari madrasah diniyah hingga pondok pesantren di berbagai wilayah.

Hal yang sama juga tampak dari para muridnya. Banyak di antara mereka yang kembali ke kampung halaman masing-masing dan menjadi tokoh agama. “Ada santri beliau yang kini menjadi pimpinan pesantren, ada juga yang aktif dalam pengembangan majelis taklim,” tutur seorang peneliti sejarah Islam lokal, Ahmad Nasuha.

Kisah Karomah: Dari Kuli Beras Hingga Sawah yang Cepat Digarap

Mbah Mudzakir dikenal memiliki karomah—sebuah keistimewaan spiritual yang hanya dianugerahkan kepada hamba-hamba pilihan. Dalam konteks masyarakat Muslim tradisional, karomah adalah bukti dekatnya seseorang kepada Allah SWT. Karomah Mbah Mudzakir terbagi dalam dua fase: sebelum dan sesudah menjadi kiai. Pada masa mudanya, ia pernah bekerja sebagai kuli pengangkut beras. Suatu hari, beberapa orang yang iri padanya mencoba mencelakakan dengan menimbunnya di bawah karung-karung beras dalam jumlah besar. Namun, secara ajaib, ia berhasil selamat tanpa luka. Sejak itu, banyak orang mulai menghormatinya, bahkan menyebutnya sebagai “Waliyullah”.

Karomah lain terjadi ketika ia sudah berkeluarga dan menjadi petani. Meski menggarap sawah yang luas, Mbah Mudzakir hanya dibantu oleh sedikit orang. Anehnya, pekerjaan berat itu bisa selesai dalam waktu sangat singkat—suatu hal yang sulit dijelaskan secara logika. Setelah menjadi kiai, karomahnya semakin nyata dalam bentuk keberkahan keturunan dan murid-muridnya. Hampir semua keturunan beliau menapaki jalan keulamaan dan pengabdian sosial. Dalam hal ini, banyak pihak menyebut beliau sebagai “sang pencetak kader kiai.”

Makam yang Tak Tenggelam: Simbol Keberkahan Abadi

Mbah Mudzakir wafat pada 13 September 1950 M atau bertepatan dengan 30 Dzulqo’dah 1369 H. Ia dimakamkan di pemakaman keluarga di Dusun Tambaksari, sebuah kawasan yang kemudian hari menjadi cerita tersendiri. Pada tahun 2010, abrasi laut di pesisir Sayung menggerus lahan-lahan pemukiman dan area makam. Penduduk setempat harus direlokasi. Namun, secara menakjubkan, makam Mbah Mudzakir tetap utuh meskipun kini berada di tengah laut. Air laut yang biasanya ganas dan pasang tidak mampu menenggelamkan kompleks pemakamannya.

Fenomena ini membuat masyarakat sekitar semakin meyakini keberkahan dan karomah Mbah Mudzakir. “Sudah lebih dari satu dekade makam itu berada di laut, tapi tidak pernah terendam air. Ini benar-benar luar biasa,” tutur seorang nelayan setempat. Kini, makam tersebut menjadi tempat ziarah yang tidak pernah sepi. Setiap tahun, pada tanggal 30 Dzulqo’dah, haul Mbah Mudzakir diperingati dengan penuh khidmat oleh ribuan peziarah dari berbagai daerah.

Mbah Mudzakir dalam Perspektif Spiritualitas Lokal

Dalam kajian antropologi religius, figur seperti KH Abdullah Mudzakir memegang peranan penting dalam membentuk wajah keislaman lokal. Ia bukan hanya guru agama, tetapi juga simbol spiritualitas yang menyatu dengan masyarakat. Keberadaannya menjadi titik temu antara ajaran Islam normatif dan praktik keagamaan masyarakat pesisir yang heterogen.

Seorang peneliti sejarah Islam Jawa dari UIN Walisongo, Dr. Muhibbin Zuhri, menilai bahwa Mbah Mudzakir adalah contoh dari proses “lokalisasi Islam” yang berhasil. “Islam yang diajarkan tidak hanya berisi dalil dan hukum, tetapi juga menyentuh aspek kultural masyarakat,” ujar Muhibbin dalam sebuah seminar. Meski tidak banyak meninggalkan tulisan atau kitab, warisan Mbah Mudzakir hidup dalam bentuk yang lebih abadi—pada jiwa para muridnya, pada shaf para imam musholla, pada semangat dakwah anak-cucunya. Ia seperti pohon besar yang rindangnya terus meneduhkan dan buahnya terus tumbuh.

Seorang warga Sayung mengatakan, “Mbah Mudzakir tidak pernah mencari ketenaran. Tapi lihatlah hari ini, makamnya di laut pun masih didatangi ribuan orang. Itu bukti bahwa kebaikan akan selalu dikenang.”

KH Abdullah Mudzakir adalah representasi ulama lokal yang menjelma menjadi poros spiritual masyarakatnya. Dari pesisir Demak, beliau menabur ilmu dan membentuk generasi. Karomahnya bukan sekadar cerita mistik, tetapi refleksi dari hidup yang sepenuhnya diabdikan kepada Allah dan umat. Masyarakat mungkin akan terus berbicara tentang makam yang tidak tenggelam, atau sawah yang cepat selesai digarap. Namun, lebih dari itu, warisan sejati Mbah Mudzakir adalah semangat dakwah dan kaderisasi yang tak pernah padam. Sebuah warisan yang jauh lebih abadi daripada apa pun yang bisa dituliskan di batu nisan.

Referensi:

  • Buku Dokumen Mbah Mudzakir Bin Mbah Ibrahim Suro Dalam Peninggalan Sejarah, Sayung: Duta Sekawan, 2012.
  • Wawancara dengan keturunan dan warga Dusun Tambaksari (2024).
  • Seminar Lokal “Islam Pesantren dan Kiai Tradisional di Pesisir Jawa”, UIN Walisongo, 2022.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *