Pendahuluan
Pada hari Jumat malam Sabtu, tanggal 18 April 2025 keluarga besar dzurriyah Mbah KH Thohir yang dipimpin oleh KH Yusuf Masykuri selaku cucu Mbah KH Thohir menyelenggarakan pengajian haul Mbah KH Thohir ke-57 dalam kalender Masehi atau 59 dalam kalender Hijriyah.
Haul Mbah KH Thohir dihadiri ratusan jamaah baik dari keluarga, calon jamaah haji maupun warga sekitar.
Haul ini sekaligus untuk mengenang dan meneladani perjuangan KH Thohir dalm berdakwah maupun dalam melawan penjajah,
KH Yusuf Masykuri dalam sambutan menyampaikan bahwa Mbah KH Thohir adalah seorang ulama yang gigih berjuang melawan penjajah. Beliau mursyid thoriqoh Naqsyabandiyah Kholidiyah yang ikut mempelopori pergerakan masyarakat di wilayah Penggaron Pedurungan untuk melawan penjajah.
“Sejarah perjuangan KH Thohir dalam melawan penjajah penting diungkap sebagai pelajaran generasi muda agar mengenal perjuangan para ulama di masa lalu agar dapat meneladani dan melanjutkan perjuangannya untuk kemajuan bangsa di masa mendatang,” ungkap beliau.
Untuk mengabadikan perjuangannya, pemerintah dan masyarakat sepakat menyematkan nama KH Thohir menjadi nama jalan di Pedurungan. Jalan KH Thohir yaitu jalan yang menghubungkan Penggaron Kidul dan Penggaron Lor menuju Tlogomulyo dan Jalan Woltermonginsidi Semarang.
Latar Belakang Keluarga
Arina Rohmah, S.Psi.I., Sekretaris Yayasan Azzahro yang juga cicit Mbah KH Thohir, mengungkapkan, bahwa Mbah KH Thohir merupakan putera Mbah Mertojoyo berasal dari Dukuh Teguhan Desa Wringinjajar Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak. Beliau diperkirakan lahir tahun 1890-an dan tumbuh besar di Wringinjajar. Beliau belajar ilmu agama Islam dari satu kiai ke kiai lainnya dan dari satu pondok ke pondok lainnya bahkan sempat belajar ke Makkah.
Mbah KH Thohir menikah dengan Hj. Aminah puteri Mbah KH Abu Naim Penggaron Pedurungan dan kemudian berdomisili di Penggaron Pedurungan. Mbah KH Abu Naim merupakan ulama yang masih keturunan Sunan Pandanaran (Sunan Tembayat) melalui jalur Mbah KH Shodiq Jago Wringinjajar Mranggen.
Setelah Hj. Aminah binti KH Abu Naim wafat, beliau menikah dengan Umi Kulsum binti KH Abu Naim tapi sebentar. Kemudian KH Thohir menikah dengan Mbah Khodijah dari Godo Jamus. Setelah Mbah Khodijah wafat beliau menikah dengan Qomariyah binti KH Abdullah Sajad (Sendangguwo).
Dari pernikahan Mbah KH Thohir dengan Hj. Aminah dianugrahi 3 anak yaitu KH Masyhuri menikah dengan Hj. Musripah (Karangkimpul) dan Muslikah (Kendal), Hj. Imronah menikah dengan KH Azhari (Penggaron) dan KH Masykuri menikah dengan Hj. Qomariyah, Hj. Saumah, Hj. Aslihah, Saniyah dan Ma’fiah (menikah lima kali tidak dalam satu waktu).
Menjadi Mursyid Thoriqoh dan Mendirikan Pesantren
Mbah KH Thohir menjadi salah satu ulama besar yang disegani masyarakat di wilayah Penggaron Pedurungan. Mbah KH Thohir dikenal ulama yang menguasai berbagai bidang ilmu agama (mahir membaca kitab kuning) baik ilmu nahwu, shorof, tafsir, hadits, balaghoh dan sebagainya.
KH Yusuf Masykuri, merngungkapkan, Mbah KH Thohir berangkat haji ke tanah suci kurang lebih sebanyak enam kali. Ketika itu setiap keberangkatan hingga kepulangan dalam satu musim haji membutuhkan waktu 7 bulan.
“Selama di tanah suci Makkah beliau sempatkan untuk belajar dengan sejumlah ulama hingga memperoleh baiat thoriqoh Naqsyabandiyah Kholidiyah dari Syekh Asro dari Makkah murid Syekh Ali Ridlo yang juga dari Makkah. KH Thohir kemudian diangkat sebagai mursyid thoriqoh Naqsyabandiyah Kholidiyah,” tutur KH Yusuf Masykuri.
Guna mengamalkan ilmu, untuk kepentingan dakwah dan tarbiyyah, KH Thohir mendirikan pesantren al-Ma’rifah dan mengajar kitab kuning kepada para santri sekaligus untuk pembinaan murid thoriqoh.
Sebagai mursyid thoriqoh KH Thohir membimbing para murid untuk mengamalkan amalan-amalan thoriqoh Naqsyabandiyah Kholidiyah dengan mengadakan suluk dan tawajuhan setiap bulan Rajab dan Muharrom. Jumlah murid thoriqoh KH Thohir semakin banyak tersebar di berbagai wilayah tidak hanya di sekitar Penggaron tetapi juga sampai ke Gunungpati dan luar kota Semarang.
Menurut Ibu Nyai Hj. Aminah, pengasuh PP Nurul Hidayah yang masih keponakan Mbah KH. Thohir, sebagai ulama dan mursyid thoriqoh, Mbah KH Thohir dikenal rajin tirakat sehingga berbuah karomah. Beliau sering dimintai bantuan masyarakat yang membutuhkan pengobatan.
“Dulu masih jarang dokter sehingga warga yang sakit sering datang ke kiai untuk minta pengobatan. Jika ada orang sakit datang, KH Thohir sering menyuruhnya untuk ambil air di kulah (bak air) wudlu untuk diminum dengan alasan itu air digunakan wudlu banyak orang sehingga didoakan banyak orang dan alhamdulillah banyak yang cocok diberikan kesembuhan oleh Allah SWT.” Ujar Ibu Nyai Hj. Aminah yang juga ibu dari Dr. KH. In’amuzzahidin (Katib Syuriah PCNU Kota Semarang) .
KH Thohir Berjuang Melawan Belanda

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan Soekarno dan M Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945 beberapa hari setelah Jepang menyerah kepada Sekutu, tak lama kemudian pasukan Sekutu yang diboncengi Belanda berhasil Kembali memasuki wilayah Indonesia. Belanda ternyata mempunyai maksud hendak menjajah kembali Indonesia setelah sempat diambil Jepang.
Masuknya Belanda ke Indonesia ditolak masyarakat Indonesia yang sudah memproklamasikan kemerdekaannya, sehingga memicu munculnya pergerakan masyarakat untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan.
Para tokoh pergerakan pun membangun kekuatan masyarakat untuk berperang melawan Belanda. Salah satunya adalah seruan Resolusi Jihad NU yang dicetuskan KH Hasyim Asy’ari tanggal 22 Oktober 1945 di Surabaya yang memicu perang besar 10 Nopember 1945.
Masyarakat pun ikut menyusun kekuatan untuk melawan Belanda yang hendak kembali menjajah Indonesia. Termasuk juga masyarakat Penggaron, Bugen, Bangetayu dan Kudu pada tahun 1946 masih bagian dari wilayah Kecamatan Genuk Kabupaten Demak bagian barat berbatasan dengan Semarang pun ikut mempersiapkan diri. Wilayah perbatasan Semarang dan Demak ini menjadi salah satu basis laskar Hizbullah dan Sabilillah yang mayoritas dari kalangan santri yang disiapkaan untuk melawan Belanda.
KH Yusuf Masykuri menambahkan, Mbah KH Thohir aktif menggalang kekuatan para pejuang. KH Thohir menjadikan rumahnya menjadi markas para pejuang. Belanda pun mentarget markas-markas laskar tersebut untuk dihancurkan.
Hal yang sama juga disampaikan Ibu Nyai Hj. Aminah. “Rumah Mbah KH Thohir dan juga rumah ayah saya Mbah KH. Zaeni dijadikan markas perjuangan diserang oleh Belanda. Peristiwa penyerbuan dan penghancuran markas terjadi tiga kali sehingga rumah beliau yang dijadikan markas menjadi hancur. Bahkan ada tiga almari berisi kitab milik Mbah KH Zaini yang ikut hancur,” ujar Ibu Nyai Hj. Aminah.
KH Yusuf Masykuri menambahkan, mengingat Belanda lebih kuat secara persenjataan dan untuk menghindari jatuhnya banyak korban, maka KH Thohir beserta para laskar dan masyarakat terpaksa mundur mengungsi di daerah Sedran Bulusari Demak. Walau di pengungsian namun aksi perlawanan terhadap Belanda tidak padam. Konsolidasi dan penggalangan laskar untuk melawan penjajah masih terus dijalankan.
Langkah mundur dan mengungsi ke daerah timur (Demak dan Grobogan) juga dilakukan oleh para laskar dan penduduk di wilayah Pedurungan, Bugen, Kudu, Bangetayu dan Genuk (semua wilayah ini zaman kemerdekaan masih masuk wilayah Kabupaten Demak).
Pasukan pribumi terpaksa mundur karena Belanda dengan persenjataan lebih canggih bersikap kejam dan tidak segan-segan untuk membombardir, menembak dan mengebom siapa saja yang melawan.
Kekejaman Belanda sudah ditunjukkan di sejumlah tempat seperti di daerah Bugen. Pada tahun 1946 di daerah Bugen yang berjarak tidak begitu jauh dari Penggaron terjadi pengepungan rumah yang dijadikan markas pejuang Sabilillah dan Hizbullah. Saat itu ada 74 pejuang, yakni 72 dari Laskar Sabilillah dan dua orang dari Hizbullah yang mayoritas dari Solo singgah di rumah tersebut dan menjadikannya sebagai markas pertahanan karena kondisinya kosong. Namun, Belanda ternyata mengetahui sehingga mengepung dan membombardir rumah tersebut dengan senjata mitraliur dan tekidanto yang menyebabkan 74 pejuang tersebut gugur sebagai syuhada’. Untuk menghormati pengorbanan para pejuang yang gugur / syahid, maka jalan di daerah tersebut diberi nama Jalan Syuhada’.
Setelah Belanda hengkang dari Indonesia pasca Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tahun 1949 dan setelah pembubaran Republik Indonesia Serikat (RIS) tahun 1050 Indonesia benar-benar Merdeka dengan format NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Kehidupan rakyat mulai membaik.
KH Thohir kembali fokus mengajar, mengembangkan pondok pesantren dan membimbing murid thoriqoh. Lambat laun pesantren pun berkembang dan thoriqoh KH Thohir semakin maju ditandai semakin banyak murid yang tersebar di berbagai daerah. Beberapa muridnya kemudian ada yang mengikuti jejak beliau mendirikan pesantren seperti salah satu santri yang mendirikan pesantren di daerah kelurahan Tawang Mas Semarang Barat.
KH Thohir wafat pada hari Sabtu Pon, 11 Dzul Qa’dah 1387 atau bertepatan tanggal 10 Februari 1968 dalam usia 70-an tahun. Guna mengenang jasa perjuangan KH Thohir dalam melawan penjajah maka jalan raya di depan rumah lokasi markas perjuangan melawan penjajah (sekarang menjadi pesantren at-Thohiriyah dan pesantren Nurul Hidayah, Pedurungan Lor) diberi nama Jalan KH Thohir yaitu jalan raya tembus yang menghubungkan Jalan Raya Brigjend Sudiarto Penggaron Kidul dan Penggaron Lor menuju arah Tlogomulyo dan Jalan Woltermonginsidi Semarang.
Berpotensi Diusulkan sebagai Pahlawan Nasional
Perjuangan Mbah KH Thohir menunjukkan para santri pada era kemerdekaan memiliki andil besar bagi perjuangan bangsa. Jiwa kepahlawanan ini patut untuk diteladani generasi muda.
Menurut Ketua Lembaga Ta’lif wan Nasyr (LTN) Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Semarang, Dr. Muhammad Kholidul Adib, SHI, MSI, jejak kepahlawanan Mbah KH Thohir masih bisa dirasakan oleh generasi sekarang. Kebanyakan berupa cerita tutur dari para sesepuh baik dari internal keluarga maupun para tetangga dan murid-murid beliau yang sudah sepuh. Untuk itu perlu kepedulian untuk meneliti biografi beliau dengan mengumpulkan data baik melalui wawancara dengan para sesepuh maupun menggali dokumentasi atau arsip-arsip masa lalu guna menggali informasi yang lebih valid supaya bisa disusun sebuah buku biografi yang memenuhi standart akademik tentang Mbah Kh Thohir.
Sekilas menyimak informasi yang disampaikan oleh keluarga dan sejumlah generasi sepuh menunjukkan sosok Mbah Thohir berpotensi memenuhi kriteria untuk diusulkan sebagai pahlawan nasional. Namun jika keluarga maupun kaum santri menghendaki mengurus gelar kepahlawanan beliau maka butuh digarap serius oleh tim untuk dapat memenuhi semua persyaratan gelar pahlawan nasiona. Mungkin almarhum Mbah Thohir dan keluarga besar dzurriyat Mbah Thohir sangat Ikhlas dan tidak memerlukan gelar pahlawan nasional, tetapi bangsa ini yang seharusnya dengan sadar memberikan penghormatan kepada para pahlawan yang telah berjuang gigih untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
“LTN PCNU Kota Semarang sedang meneliti biografi para ulama dan menemukan sejumlah ulama sebagai pejuang kemerdekaan yang memenuhi kriteria untuk diusulkan sebagai pahawan nasional namun membutuhkan kajian akademik yang serius. Selain Mbah KH Sholeh Darat, ada nama Mbah KH Abdullah Sajad Sendagguwo, Mbah KH Thohir Penggaron, Mbah KH Zaeni Penggaron, Mbah KH Muslih Mranggen dan beberapa nama lain,” tutur Dr. Muhammad Kholidul Adib, SHI MSI., []