Oleh Arina Rohmah, S.Psi.I.
(Sekretaris Yayasan Azzahro Penggaron Kidul Pedurungan Semarang)
Pendahuluan
Sabtu, 21 Juni 2025, keluarga besar Bani KH Abu Naim Penggaron Kidul Pedurungan Semarang menyelenggarakan haul KH Abu Naim. Haul diadakan di dua Lokasi. Untuk kaum laki-laki di Makam Krapyak, tepatnya di pinggir jalan raya Pedurungan – Mranggen, atau di seberang jalan pom bensin Pengggaron Kidul Pedurungan. Sedangkan untuk ibu-ibu diadakan di Masjid Baitun Naim Pedurungan.
Penggaron terletak di wilayah tenggara Kota Semarang berbatasan dengan Mranggen Demak. Selama ini Penggaron dikenal sebagai kampung santri karena terdapat banyak terdapat pondok pesantren dan Lembaga Pendidikan Formal dari PAUD, RA/TK, MI/SD, MTs/SMP, MA/SMA dan Perguruan Tinggi (SETIA Walisembilan). Kondisi ini semakin menambah kuat identitas khas Penggaron sebagai kampung santri walau mulai ramai dengan banyak pabrik, pertokoan dan perkantoran.

Silsilah KH Abu Naim
KH Abu Naim lahir pada kisaran tahun 1850 dan wafat sekitar tahun 1930. Beliau anak kedua pasangan KH Ismail dan Hj Asiyah yang berdomisili di Dukuh Godo Desa Jamus Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak. KH Ismail merupkan Putera Mbah Mangun bin Taruno.
KH Ismail menikah dengan Hj Asiyah anak ke-5 Mbah Thohir Thohir bin Mbah Irsyad bin Mbah Shodiq yang biasa disebut Ki Ageng Jago Wringinjajar Mranggen yang garis ke atasnya sampai kepada Sunan Pandanaran.
Mbah Thohir Jago Wringinjajar mempunyai 8 putra yaitu Kyai Zaenudin, Kyai Muhammad Hadi (Mbah Hadi Girikusumo), Kyai Muhammad Thoyyib (Bendosari Sadeng Gunungpati), Kyai Syamsuri (Ungaran), Nyai Asiyah (menikah dengan Kyai Ismail Godo Jamus), Nyai Hasanah, Nyai Syarifah dan Kyai Shodiq.
Menikah
Pada tahun 1875-an, KH Abu Naim menikah dengan Hj Khodijah dan menetap di Penggaron dikaruniai lima anak yaitu Hj. Aminah (menikah dengan KH. Thohir, domisili di Penggaron mendirikan pesantren al-Muarifah yang kemudian berubah menjadi at-Thohiriyah), Hj. Maemunah (menikah dengan KH Abdul Hadi, domisili di Gendong Sendangmulyo yang mendirikan masjid di Gendong Sendangmulyo Tembalang), KH Zaini (menikah dengan Hj. Khodijah domisili di Penggaron), Umi Kulsum (pernah sebentar menjadi istri kedua KH Thohir, setelah istri pertamanya Hj Khodijah wafat, kemudian menikah dengan Kiai Hasyim Gendong Sendangmulyo Tembalang), dan Hj. Zaenab (menikah dengan H Tholhah, domisili di Penggaron).
Berdakwah
Pada waktu itu, lingkungan di wilayah Penggaron masih sepi dan banyak tanah kosong sehingga KH Abu Naim ibarat membuka alas untuk pemukiman baru sehingga memiliki tanah yang cukup luas.
Kalau pun sudah ada penduduk jumlahnya sangat sedikit di kampung Penggaron. KH Abu Naim memiliki tanah yang luas sehingga bisa digunakan sebagai bekal dalam berdakwah.
Masyarakat sekitar Penggaron kala itu kebanyakan orang awam bahkan masih ada yang menyembah matahari (sejenis aliran tertentu yang dalam ritualnya menyerap energi matahari di pagi hari).
KH Abu Naim berdakwah untuk memberikan pemahaman agama Islam kepada masyarakat sekitar Penggaron dan membimbing mereka supaya mau menjalankan ajaran agama Islam dengan baik dan benar sesuai ketentuan syariat Islam.
Guna menunjang dakwah, KH Abu Naim mendirikan masjid sebagai sarana ibadah dengan mengajak masyarakat sekitar untuk sholat berjama’ah, mengaji dan berbagai kegiatan agama.
Setelah sukses membangun masjid di Penggaron kemudian dilanjut membangun masjid di beberapa tempat lain yaitu di Bandungrejo Mranggen, Sedayu Bangetayu dan Karanganyar Mangkang.
KH Abu Naim berangkat ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji. Saat itu berangkat 7 orang anggota keluarga dengan biaya hasil menjual sebagian tanahnya (tanah dijual untuk biaya haji tersebut sekarang ini dibangun Hotel Horison Nindya Pedurungan ke timur hingga sebelum jalan masuk komplesk Manunggal Jati).
Berkat kegigihan KH Abu Naim dalam berdakwah lambat laun masyarakat Penggaron mau menjalankan ajaran Islam dengan penuh kesadaran. Guna mengenang perjuangan KH Abu Naim setiap tanggal 25 Dzulhijjah diadakan haul dengan pengajian umum di makam dan di masjid Baitun Naim.
KH Abu Naim dan Wawasan Kebangsaan
KH Abu Naim merupakan salah satu kiai sepuh yang meletakkan fondasi dasar dakwah Islam di wilayah Penggaron. Beliau tidak hanya mengajarkan agama Islam tetapi cuma cinta tanah air dan anti penjajahan. Darah ulama dan pejuang yang mengalir pada diri KH Abu Naim tidak lepas dari para leluhurnya yang dikenal sebagai pejuang dan pendakwah.
KH. Abu Naim belajar agama dan nasionalisme kepada orang tuanya, KH Ismail, yang dikenal sebagai ulama yang memiliki pengaruh besar pada abad ke-19. KH Ismail pernah terlibat dalam sejumlah aksi perlawanan terhadap penjajah Belanda, salah satunya dalam perang gerilya di daerah Gombel Semarang, di masa-masa akhir Perang Jawa (1925-1930) yang dipimpin Pangeran Diponegoro.
Usai perang KH Ismail berhasil menyelamatkan diri dan bersembunyi di Kampung Godo Jamus yang masih sepi. Beberapa waktu kemudian KH Ismail mendirikan musholla dan pesantren di kampung Godo Jamus pada tahun 1835.
Syiar dakwah KH Ismail di kampung Godo Jamus berjalan dengan baik, banyak santri berdatangan. Tetapi lambat-laun di tahun 1870-an karena dicurigasi mengajarkan nasionalisme dan anti kolonialisme kepada para santri maka Belanda mengahancurkan pondok dan musholla tersebut. Sisa-sisa bangunan musholla kemudian direnovasi pada tahun 1873 dengan diubah menjadi masjid. Pada prasasti yang ada di masjid bertuliskan tahun Masehi 1873 sebagai tahun renovasi pertama Masjid Jami’ Godo.
Ayah KH Abu Naim, KH Ismail, merupakan salah satu sahabat KH Sholeh Darat Semarang dan KH Muhammad Hadi Girikusumo. Di antara ulama yang membawa pulang KH Sholeh Darat dari Makkah ke Semarang adalah KH Ismail Jamus Godo dan KH Muhammad Hadi ketika haji tahun 1860-an.
Situasi kala itu para ulama sedang tertekan oleh pemerintah kolonial Belanda yang sangat menindas, karena setelah perang Diponegoro tahun 1825-1830, banyak ulama yang ikut Diponegoro dikejar-kejar sama Belanda sehingga banyak yang bersembunyi di daerah terpencil. Mereka masih terhubung satu sama lain dengan sandi pohon sawo. Sebab hanya kekuatan ulama dan santri yang paling susah ditundukkan sama Belanda. Berbeda dengan kalangan priyayi keraton yang mudah ditundukkan dengan jabatan dan fasilitas.
KH Ismail bersama KH Muhammad Hadi dan KH Sholeh Darat sangat intens melakukan kaderisasi santri dengan menanamkan nilai-nilai cinta tanah air dan anti kolonialisme. Jiwa itulah yang diwarisi KH Abu Naim dan ditanamkan di kalangan keluarga dan kawan dekatnya.
Bani Abu Naim dan Perjuangan Melawan Penjajah
Jiwa dakwah dan perjuangan KH Abu Naim diteruskan oleh para anak dan menantunya di antaranya KH Thohir dan KH Zaini. Hubungan KH Thohir dengan KH Zaini adalah saudara ipar. Keduanya di kemudian hari tumbuh menjadi ulama besar dan pejuang yang gigih melawan Belanda.
KH Abu Naim menikahkan puterinya Hj. Aminah dengan KH Thohir bin Mbah Mertojoyo yang berasal dari kampung Teguhan Wringinjajar Mranggen. KH Thohir lahir tahun 1876 dan wafat pada tanggal 26 Dzul Qo’dah tahun 1968 M dalam usia 92 tahun.
Sedangkan KH Zaini sebagai anak laki-laki KH Abu Naim yang juga diperkirakan lahir sekitar tahun 1880-an wafat hari Jumat Pahing tanggal 5 Januari 1974 / 19 Dzul Qo’dah dalam usia 90-an tahun.
KH Zaini belajar agama kepada KH Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang kemudian menikah dengan Hj. Khodijah Al-Hafidhoh bin KH Ali Khafidz dari Demak. KH Zaini dikenal sebagai ulama yang ahli tirakat dengan sering puasa.
Pada era perjuangan revolusi kemerdekaan, tanggal 19 Oktober 1945, Belanda (NICA dan Sekutu) datang untuk kembali menjajah Indonesia. Bangsa Indonesia pun berjibaku melawan penjajah. KH Thohir dan KH Zaini termasuk barisan ulama yang ikut mempelopori pergerakan kaum santri dalam melawan penjajah.
Tidak hanya menyerukan perlawanan kepada penjajah, beliau berdua dan para keluarga bani KH Abu Naim merelakan rumahnya menjadi markas berkumpulnya para pejuang khususnya pada saat terjadi perang di Markas Medan Tenggara (MMT) tahun 1946 yang mana banyak laskar Hizbullah, TKR dan berbagai laskar pribumi berjuang melawan Sekutu (NICA). Rumah KH Thohir dan KH Zaini yang dijadikan markas pejuang kemerdekaan itu tiga kali diserang ddan dihujani bom sama Belanda hingga rumah yang dijadikan markas tersebut sempat hancur termasuk tiga almari yang semua berisi kitab milik KH Zaini dan keluarga ikut hancur.
Melanjutkan Perjuangan KH Abu Naim
Jiwa dakwah dan perjuangan KH Abu Naim diteruskan oleh para anak dan menantunya. Menantu KH Abu Naim, yaitu KH Thohir mendirikan pesantren al-Ma’rifah dan mengajar kitab kuning kepada para santri. KH Thohir dikenal alim dalam bidang ilmu agama (mahir membaca kitab kuning) dan mursyid thoriqoh Naqsyabandiyah Kholidiyah mendapatkn baiat dari Syekh Asro (Makkah) yang mempunyai guru bernama Syekh Ali Ridlo (Makkah).
Sepeninggal KH Thohir, pesantren diteruskan oleh puteranya, KH Masykuri. Di bawah kepemimpinan KH Masykuri, pesantren al-Ma’rifah diubah menjadi pondok pesantren at-Thohiriyah, kemudian menjadi Yayasan at-Thohiriyyah.
Setelah KH Masykuri wafat tahun 1994, pesantren at-Thohiriyyah diasuh oleh KH Yusuf Masykuri. Puteri KH Masykuri yang lain di antaranya Hj. Hanifah menikah dengan KH Syarofuddin Husein mendirikan Yayasan Syaroful Millah. Putri KH Masykuri yang lain Hj. Amalia Hamdanah mendirikan Yayasan Azzahro. Puteri KH Masykuri yang lain lagi Hj. Nikmatul Aliyah aktif sebagai kepala SMA At-Thohiriyyah.
Putera KH Abu Naim yang lain, yaitu KH Zaeni menikah dengan Hj. Khodijah bin KH Ali Khafidz Demak, melahirkan beberapa anak di antaranya Hj. Aminah yang menikah dengan KH. Masyhudi (alumni pesantren Bandungsari Grobogan) mendirikan pesantren Nurul Hidayah.
Setelah KH Masyhudi wafat pondok pesantren Nurul Hidayah diasuh oleh Hj. Aminah beserta putera dan putrinya. Di antara salah satu puteranya yang menjadi pengasuh pesantren Nurul Hidayah ialah Dr. KH. In’amuzzahidin (Katib Syuriah PCNU Kota Semarang).
Puteri KH Zaeni yang lain yaitu Hj. Mas’idah (kakak Hj. Aminah) menikah dengan KH Muhtar melahirkan beberapa di antaranya Hj. Mardliyah yang menikah dengan KH. Qodirun Nur mendirikan PP al – Hikmah Pedurungan.
Adapun putera KH Zaeni lainnya, yaitu KH Ali Mahfudh menikah dengan Hj. Hafidhoh dari Demak keturunannya mendirikan Pesantren Bustanu Usyaqil Qur’an (BUQ) di Plamongansari.
Walhasil perjuangan dakwah yang dirintis KH Abu Naim sejak satu abad silam hingga sekarang masih diteruskan oleh para dzurriyah baik yang di Penggaron, Pedurungan, Plamongansari maupun di tempat lain. []