KH Ismail, Perjuangan Melawan Belanda dan Dakwah Islam di Dukuh Godo

Oleh Arina Rohmah

(Sekretaris Yayasan Azzahro Penggaron Kidul Pedurungan Semarang)

Hari ini, Jum’at, 27 Juni 2025 bertepatan tanggal 1 Muharrom 1447 H, diadakan peringatan haul  KH Ismail Godo Jamus Mranggen Demak. Peringatan haul dimulai dengan sema’an al-Qur’an 30 juz pada pagi hari, kemudian ziarah kubur di makam KH Ismail di belakang Masjid Ismail Godo dan puncaknya malam tanggal 2 Muharrom diadakan pengajian akbar dan arwah jama’ di Masjid Ismail Godo dengan pembicara al-Mukarrom KH Ahmad Haris Shodaqoh, pengasuh PP al-Itqon Bugen Pedurungan Semarang sekaligus Rais Syuriah PBNU.

KH Ismail merupakan salah satu ulama besar yang hidup pada abad ke19 M. Beliau diperkirakan lahir tahun 1810-an. Beliau putera Mbah Mangun bin Mbah Taruno. KH Ismail muda sudah rajin belajar menuntut ilmu dan ikut berjuang melawan Belanda. Beliau adalah tokoh ulama dan juga seorang guru yang telah banyak menurunkan tokoh-tokoh ulama di tanah Jawa dan sebagai tokoh pejuang.

Mengenang Perjuangan KH Ismail

KH Ismail sejak muda pernah ikut dalam sebuah pertempuran melawan Belanda di daerah Gombel Jatingaleh Semarang. Ribuan orang terlibat dalam perang tersebut. Perang Jawa terjadi merata di Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro (tahun 1825–1830). 

Salah satu panglima perang Pangeran Diponegoro adalah Ki Ageng Galang Sewu yang dipercaya memimpin laskar perlawanan dengan pasukan yang berjumlah ribuan orang di wilayah Semarang dan sekitarnya. Saat itu terjadi pertempuran di daerah Jatingaleh Gombel hingga Ungaran pada akhir masa perang Pangeran Diponegoro.

Panglima Perang, Ki Ageng Galang Sewu lahir sekitar tahun 1790 dengan nama Raden Suryokusumo. Berasal dari keluarga Bustaman Semarang, yaitu cucu dari Kyai Bustaman. Kyai Bustaman mempunyai keturunan sekitar 11 orang di antaranya adalah Kyai Ngabei Surodirdjo. Kyai Ngabei Surodirdjo berputra sekitar 11 orang. Di antaranya yang pertama adalah Kyai Adipati Surohadimenggolo V (Pangeran Terboyo) dan urutan kesepuluh adalah RM Suryo Kusumo atau Kyai Galang Sewu serta kakak beliau bernama RM Yuda Widarmo (Raden Sukar).

Nama Galang Sewu disematkan kepada Raden Suryokusumo karena kemampuannya menggalang dukungan rakyat baik dari kalangan santri maupun warga di Semarang dan sekitarnya yang mencapai jumlah ribuan untuk diajak gabung dalam pertempuran melawan Belanda sehingga namanya kemudian dikenal sebagai Ki Ageng Galang Sewu. Dari situ nama “Galang Sewu” digunakan karena bermakna “menggalang seribu pasukan”.

Perang ini menyebabkan banyak korban jiwa dari kedua belah pihak dan mengakibatkan kerugian besar bagi Belanda. Perang ini menjadi salah satu pertempuran penting dalam sejarah Perang Diponegoro di pantura, yang menunjukkan perlawanan gigih rakyat Jawa khususnya Semarang dan sekitarnya terhadap penjajahan Belanda. 

Perang Diponegoro berakhir dengan ditangkapnya Pangeran Diponegoro pada tanggal 28 Maret 1830 di Magelang. Pangeran Diponegoro diasingkan ke Makasar Sulawesi tahun 1930 dan kakak Ki Ageng Galang Sewu RM Yuda Widarmo (R Sukar) ikut dibawa ke pengasingan.

Perjuangan Ki Ageng Galang Sewu tidak berhenti di medan perang. Setelah perang berakhir, ia kembali ke jalur dakwah. Ki Ageng Galang Sewu tetap melakukan kaderisasi dan memilih di tempat terpencil dan sunyi di Tembalang. Hal itu karena pasca perang Diponegoro, Belanda selalu mewaspadai para pendukung Pangeran Diponegoro. Sehingga kebanyakan mereka pergi mencari tempat yang sepi bahkan banyak yang tinggal di tepi hutan.

KH Ismail Menikah dan Bermukim di Godo Jamus 

KH Ismail berhasil menyelamatkan diri dan kemudian berdomisili di Dukuh Godo Desa Jamus Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak. Dukuh Godo kala itu suasananya masih sepi dan jauh dari hiruk pikuk keramaian kota.

KH Ismail menikah dengan Asiyah, puteri Mbah Thohir bin Mbah Irsyad bin Mbah Shodiq Wringinjajar Mranggen yang biasa disebut Ki Ageng Jago Wringinjajar Mranggen yang garis ke atasnya sampai kepada Sunan Pandanaran.

Mbah Thohir Jago Wringinjajar mempunyai 8 putra yaitu Kiai Zaenudin, Kiai Muhammad Hadi (Mbah Hadi Girikusumo), Kiai Muhammad Thoyyib (Bendosari Sadeng Gunungpati), Kiai Syamsuri (Ungaran), Nyai Asiyah (menikah dengan Kiai Ismail Godo Jamus), Nyai Hasanah, Nyai Syarifah dan Kiai Shodiq.

Strategi Benteng Pendem

Kondisi sosial politik di Jawa pasca perang Pangeran Diponegoro (tahun 1830 M) ditandai adanya pelemahan gerakan perlawanan para pendukung Pangeran Diponegoro. Kalangan ulama dan santri sebagai pendukung utama Pangeran Diponegoro mulai dipisahkan dari kalangan Keraton, karena jika ulama dan orang keraton (santri dan priyayi) bersatu maka Belanda akan kesulitan untuk mengalahkan mereka.

Belanda juga mengejar sisa-sisa pasukan Diponegoro terutama para ulama dan kaum santri yang susah ditundukkan. Sisa-sisa pasukan perang Diponegoro banyak yang sembunyi di daerah-daerah terpencil. Para ulama penerus perjuangan Pangeran Diponegoro masih membangun jaringan sel-sel perlawanan dengan sandi pohon sawo yang ditanam di depan masjid, musholla atau rumah kiai.

Para ulama membangun gerakan perlawanan bawah tanah atau istilahnya melawan dengan strategi benteng pendem. Salah satu langkah dalam strategi benteng pendem, selain melakukan penyerangan secara tiba-tiba kepada musuh, adalah membangun kaderisasi para pejuang untuk terus melakukan perlawanan kepada penjajah. Di antara tokoh yang gigih menjalankan strategi perlawanan benteng pendem adalah KH Ismail.

Membangun Masjid

Dalam menjalankan strategi benteng pendem sekaligus syiar Islam, KH Ismail mendirikan musholla (kemudian jadi masjid) yang hingga sekarang masih tetap kokoh berdiri di daerah Godo Jamus Mranggen Demak.

Bahwa cikal bakal bangunan Masjid Jami’ Godo semula berupa surau (musholla) dan pesantren didirikan pada tahun 1835 oleh KH Ismail. Untuk ibadah sholat Jum’at saja, KH Ismail dan para santri kala itu harus berangkat ke Masjid Besar Kauman Semarang.

KH Ismail mendirikan pesantren sebagai tempat mendidik generasi muda agar memahami ajaran Islam dan berani melawan penjajah. Lama-lama aktivitas KH Ismail dan pesantren Godo diketahui Belanda dan karena Belanda merasa terancam sehingga pesantrennya kemudian dihancurkan Belanda.

Bangunan musholla kemudian direnovasi yang pertama pada tahun 1873 dengan diubah menjadi masjid. Pada prasasti yang ada di masjid bertuliskan tahun Masehi 1873 sebagai tahun renovasi pertama Masjid Jami’ Godo.

Selain sebagai tempat ibadah, masjid ini juga memiliki sumur peninggalan KH Ismail yang diyakini membawa keberkahan bagi warga sekitar. Sumur ini menjadi simbol keberkahan. Setiap tahun, pihak desa mengadakan kirab apitan air dari sumur tersebut untuk disiramkan ke sawah-sawah. Alhamdulillah, hasil panen warga selalu melimpah.

Hingga saat ini pengelolaan Masjid masih berlanjut. Bangunan Masjid pun sudah banyak mengalami perubahan. Akan tetapi berbagai assesoris seperti ukiran-ukiran masih asli dan hanya mendapat sentuhan pewarnaan.

Guna melestarikan Masjid Godo, Lembaga Takmir Masjid Nahdlatul Ulama (LTM NU) Jawa Tengah kembali mengukuhkan masjid bersejarah melalui program plangisasi. Kali ini, giliran Masjid Jami’ Ismail Godo di Desa Jamus, Kecamatan Mranggen, Kabupaten Demak, yang diresmikan sebagai masjid bersejarah oleh Rais Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah, KH Ubaidullah Shodaqoh, pada Sabtu (18/1/2025).

Kaderisasi Ulama Pejuang

KH Ismail dan kakak iparnya, KH Muhammad Hadi Girikusumo Mranggen, menilai kaum santri butuh konsolidasi usai perang Diponegoro. Dibutuhkan sosok figur kedalaman ilmu, ketokohan dan jaringan luas untuk dapat menyiapkan kader-kader santri sekaligus pejuang di masa mendatang.

Pada kisaran tahun 1860-an, KH Muhammad Hadi Girikusumo Mranggen dan KH Ismail Godo beserta rombongan sedang menunaikan ibadah haji di tanah suci bertemu dengan KH Sholeh Darat. Saat itu KH Sholeh Darat mengajar di Makkah. Mbah Hadi menilai keilmuan KH Sholeh Darat akan lebih tepat jika diajarkan di pulau Jawa yang saat itu butuh banyak orang alim untuk mendidik para santri.

Tapi karena KH Sholeh Darat sudah terikat kontrak tidak bersedia karena akan ketahuan, maka dicarilah cara KH Sholeh Darat dimasukkan peti dan dibawa pulang ke Jawa. KH Sholeh Darat sempat ketahuan di Singapura dengan berbagai Upaya akhirnya bisa sampai pulau Jawa.

KH Sholeh Darat sempat mengajar di Purworejo kemudian pindah ke Semarang. Tahun 1870 KH Sholeh Darat menetap di Kampung Darat Semarang dan membuka pondok pesantren. Seketika pondok pesantren KH Sholeh Darat langsung popular dan mendapatkan santri yang banyak di antaranya KH Hasyim Asya’ari (Pendiri NU), KH Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), KH Abdullah Sajad, KH Abdullag Mudzakir, RA Kartini, dan lain-lain.

KH Ismail bersama KH Muhammad Hadi Girikusumo berharap kepada KH Sholeh Darat untuk ikut mendidik dan melakukan kaderisasi pergerakan kaum santri melawan penjajah Belanda.

KH Ismail mendidik anak-anaknya dengan wawasan kebangsaan, nilai-nilai nasionalisme dan anti kolonialisme, untuk tidak tunduk kepada Belanda. Para putera KH Ismail (Godo Jamus Mranggen) dan keturunannya selalu melanjutkan tugas leluhurnya melakukan strategi perlawanan terhadap Belanda dan menyebarkan agama Islam agara tetap lestari di pulau Jawa.

Makam KH Ismail bersama istri terletak di belakang masjid Jami’ Isma’il Godo Jamus RT 12 RW 04. Haul KH Ismail Godo diperingati tiap bulan Muharam. Haul kali ini bertujuan untuk kirim doa, ngalap barokah dan untuk mengenang jasa beliau, bahwa di Jamus ada tokoh ulama dan wali besar yang bernama KH Ismail yang hidup pada abad 19.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *