BOYOLALI, nukotasemarang.com– Pemberlakuan standarisasi infrastruktur dan tata ruang pondok pesantren mendesak untuk segera dilakukan.
Hal ini ditegaskan dalam Halaqah Pengasuh Pesantren yang digelar Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) PWNU Jawa Tengah di Ponpes Nurul Qur’an, Simo, Boyolali, Selasa (21/10/2025).
Acara tersebut bertema “Arsitektur, Desain, Tata Ruang, dan Infrastruktur Pesantren”.
Salah satu narasumber, Dr. KH. Abu Choir, M.A. perwakilan RMI PWNU Jateng mengatakan bahwa sarana merupakan bagian 2 arkanul ma’had yang dikristalkan dalam UU No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, yaitu Asrama dan Masjid.
“Kedua aspek ini memiliki nilai filosofis yang tidak hanya sekedar bangunan. Bahkan asrama santri, masjid, dan rumah kyai ibarat pertemuan simbolik interaksi manusia menuju kebaikan hakiki,” ujarnya.
Gus Dur, lanjut Abu Choir, pernah mengilustrasikan cerita pewayangan, dimana santri ialah para salik yang beriyadhah menuju baik dan Kiai ialah para mursyid yang membimbingnya, sedangkan masjid adalah medan Kurusetranya.
Oleh karena itu keberadaan asrama santri, rumah/dalem Kyai, Masjid dan infrastruktur pesantren lainnya tidak boleh sampai kehilangan makna sebagai tempat pendidikan.
“Namun demikian, tetap harus memperhatikan nilai-nilai dasar ilmu teknik pembangunan, sehingga menjamin santri aman, sehat, dan nyaman,” demikian tegasnya.
Lebih lanjut, Abu Choir menyampaikan bahwa penting bagi pesantren menjaga kemandirian agar nilai sarana dapat mendukung pendidikan holistik santri, namun tetap harus memperhatikan aspek keselamatan dan kenyamanan bagi santri.
“Pesantren adalah lembaga mandiri yang harus tetap menjaga nilai-nilai dan tradisinya. Namun kemandirian itu tidak berarti mengabaikan standar keselamatan dan kelayakan bangunan,” ujarnya.
Kemudian Ir. Ashar Saputra, Ph.D. dari Universitas Gadjah Mada (UGM) menjelaskan bahwa pembangunan pesantren idealnya melalui empat tahap penting: perencanaan, konstruksi, operasional dan pemeliharaan, serta evaluasi bangunan.
Setiap tahap, menurutnya, memerlukan keterlibatan tenaga ahli agar bangunan yang dihasilkan sesuai dengan fungsi dan aman digunakan dalam jangka panjang.
“Banyak pesantren membangun secara swadaya tanpa perencanaan teknis. Padahal, keamanan dan kelayakan bangunan menjadi bagian dari tanggung jawab moral pengasuh,” jelasnya.
Selain membahas persoalan teknis, halaqah ini juga mengidentifikasi sejumlah kendala administratif, seperti kesulitan mengurus IMB di lahan wakaf atau tanah yang masuk zona hijau, serta minimnya akses terhadap arsitek dan kontraktor yang memahami karakter pesantren.
Sebagai tindak lanjut, forum ini merekomendasikan agar RMI PWNU Jawa Tengah menjalin kerja sama dengan asosiasi profesional seperti Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (Inkindo), Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi), dll.
Bahkan bisa juga berkolaborasi dengan Pergurun Tinggi dalam riset dan PKM pada bidang sarana tersebut. Kolaborasi ini diharapkan membantu pesantren melakukan pembangunan secara swakelola dengan biaya yang lebih efisien.
RMI juga didorong untuk memetakan konsultan dan kontraktor dari kalangan santri, serta mengadvokasi pemerintah agar memberikan pembebasan biaya IMB/PBG bagi pesantren untuk bangunan baru dan bangunan lama yang belum memiliki izin.
Selain itu, perguruan tinggi mitra yang memiliki fakultas teknik sipil dan arsitektur diharapkan dapat berkontribusi melalui pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi di pesantren.
Halaqah ini menjadi bagian dari peringatan Hari Santri Tahun 2025 sekaligus sebagai bagian upaya RMI dalam memperkuat kapasitas kelembagaan pesantren, tidak hanya di bidang pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat, tetapi juga dalam pengelolaan infrastruktur yang aman, sehat, dan nyaman secara berkelanjutan.
“Kami ingin pesantren menjadi tempat belajar yang nyaman, tertata, dan tetap berakar pada nilai-nilai tradisi pesantren dalam bingkai Ahlussunnah wal Jamaah,” tutur Abu Choir menutup sesi diskusi.
Forum ini diikuti para pengasuh pesantren dari berbagai daerah di Jawa Tengah yang selama ini menghadapi beragam persoalan dalam pengelolaan infrastruktur, mulai dari izin mendirikan bangunan (IMB), status tanah wakaf, hingga keterbatasan tenaga teknis.


