Oleh: Nur Syamsudin (Dosen Fisip UIN Walisongo Semarang)
Sebuah insiden tragis kembali mencoreng wajah penegakan hukum Indonesia. Seorang driver ojek online (ojol) tewas terlindas kendaraan operasional Polri (rantis) di bawah kendali aparat. Ironi itu begitu perih: pengayom masyarakat justru menjadi predator yang merenggut nyawa warga tak bersalah. Insiden ini bukan sekadar kecelakaan lalu lintas biasa, melainkan simbol dari eroding trust antara penegak hukum dan rakyat. Dalam konteks inilah, tuntutan agar Kapolri mengundurkan diri bukanlah sebuah hujatan, melainkan sebuah tuntutan moral dan bentuk pertanggungjawaban kepemimpinan.
Korban bukan sekadar angka statistik. Ia adalah bapak, suami, atau tulang punggung keluarga yang bekerja keras memutar roda ekonomi di tengah ketidakpastian. Kematiannya under the wheels of those who should protect him adalah tragedi yang tak boleh dilihat sebagai insiden isolated. Ini adalah puncak gunung es dari pola repetitif kekerasan dan ketidakdisiplinan yang melibatkan aparat Polri.
Kita masih belum lupa dengan berbagai insiden serupa: kendaraan dinas Polri yang ugal-ugalan, pelanggaran lalu lintas yang dibiarkan, dan sikap arogansi oknum yang bersembunyi di balik seragam. Setiap kali insiden terjadi, respon institusi selalu sama: meminta maaf, menggelar sidang disiplin, dan menjanjikan perbaikan. Namun, perubahan nyata tak kunjung terlihat. Siklus kekerasan berulang, dan nyawa warga terus menjadi korban.
Mengapa Tuntutan “Kapolri Mundur” Relevan?
Dalam organisasi mana pun, terutama institusi militer dan paramiliter seperti Polri, tanggung jawab komando (command responsibility) adalah prinsip fundamental. Seorang pemimpin tidak hanya bertanggung jawab atas keberhasilan, tetapi juga atas kegagalan anak buahnya. Bahkan, dalam banyak kasus, kegagalan struktural adalah cerminan dari kegagalan kepemimpinan.
Kapolri tidak mungkin mengklaim tidak tahu bahwa disiplin berlalu lintas anak buahnya lemah. Tidak mungkin ia tidak menyadari bahwa budaya arogansi dan impunitas masih mengakar di tubuh Polri. Jika ia tahu, lalu mengapa tidak ada perbaikan sistemik? Jika ia tidak tahu, lalu apa artinya seorang pemimpin yang tidak aware dengan masalah dalam institusinya?
Tuntutan pengunduran diri Kapolri adalah simbolis namun substantif. Ini adalah pesan bahwa pemimpin harus memikul tanggung jawab terbesar ketika sistem yang ia pimpin gagal melindungi rakyat. Ini bukan tentang menjatuhkan individu, melainkan tentang menegaskan prinsip akuntabilitas yang selama ini absen.
Insiden ini semakin memperdalam krisis legitimasi yang dihadapi Polri. Survei terbaru LSI menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap Polri mengalami penurunan. Masyarakat tidak lagi melihat Polri sebagai pelindung, melainkan sebagai ancaman. Ketika warga was-was melihat kendaraan Polri di jalanan, bukan rasa aman yang hadir, melainkan kecemasan.
Krisis legitimasi ini tidak bisa diselesaikan dengan pernyataan permintaan maaf atau kompensasi materi. Dibutuhkan langkah-langkah dramatis dan simbolis untuk memulihkan kepercayaan publik. Pengunduran diri Kapolri akan menjadi sinyal kuat bahwa institusi Polri serius melakukan introspeksi dan perubahan. Ini adalah langkah pertama yang painful tetapi necessary untuk membangun kembali trust yang telah hancur.
Belajar dari Best Practices Global
Di negara-negara dengan akuntabilitas publik yang kuat, pengunduran diri pejabat tinggi akibat kegagalan sistemik adalah hal yang lazim. Menteri mengundurkan diri karena gagalnya kebijakan, jenderal mundur karena kelalaian anak buah, bahkan perdana menteri jatuh karena skandal etik. Itulah yang membedakan negara dengan budaya akuntabilitas tinggi dan yang rendah.
Indonesia harus belajar dari ini. Jika kita ingin membangun negara hukum yang beradab, kita harus menegaskan bahwa tidak ada yang kebal dari tanggung jawab. Seragam dan pangkat tidak boleh menjadi tameng untuk menghindari akuntabilitas.
Namun, pengunduran diri Kapolri tidak boleh menjadi akhir cerita. Ini harus menjadi pintu masuk untuk reformasi sistemik di tubuh Polri. Beberapa langkah konkret yang harus dilakukan:
- Audit menyeluruh terhadap penggunaan kendaraan operasional. Setiap kendaraan dinas harus dilengkapi GPS dan speed recorder untuk memantau kecepatan dan kedisiplinan pengemudi.
- Pelatihan etika dan prosedur berkendara yang intensif untuk semua personel, tidak terkecuali perwira tinggi.
- Sanksi yang tegas dan transparan untuk setiap pelanggaran, tanpa pandang bulu dan pangkat.
- Membangun mekanisme pengaduan independen yang mudah diakses masyarakat untuk melaporkan pelanggaran oleh aparat.
- Pembangunan budaya institusi yang menghargai nyawa warga dan mengutamakan keselamatan publik.
Penutup
Nyawa driver ojol yang melayang itu sangat berharga. Ia tidak boleh menjadi sekadar statistik atau catatan kaki dalam sejarah institusi Polri. Kematiannya harus menjadi momentum bagi perubahan fundamental.
Kapolri memiliki pilihan: terus bertahan dengan membawa beban moral atas tewasnya warga tak bersalah, atau mengundurkan diri dengan bermartabat sebagai bentuk penegasan bahwa tanggung jawab lebih penting daripada jabatan.
Pilihan itu bukan sekadar tentang seorang jenderal, melainkan tentang masa depan Polri dan kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum. Mundurnya seorang Kapolri mungkin akan menjadi berita besar hari ini, tetapi kelak akan dikenang sebagai titik balik dimana Polri memilih akuntabilitas di atas jabatan, dan rakyat di atas kekuasaan.
Kita tidak butuh polisi yang kuat. Kita butuh polisi yang bisa dipercaya. Dan kepercayaan itu harus dimulai dengan keberanian memikul tanggung jawab.