SEMARANG, nukotasemarang.com – Dewan Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo mengadakan kegiatan Seminar Kerukunan Umat Beragama kerjasama dengan Kesbangpol Kota Semarang dengan tema “Upaya Dialog dan Rekonsiliasi Syiah dan Sunni” pada hari Jum’at, 22 Nopember 2024 di Ruang Teater Gedung Prof. Qodri Azizi Kampus III UIN Walisongo.
Hadir dalam seminar tersebut tiga orang narasumber yaitu Dr. Ismail Marzuki, MA.Hk. (Kepala Jurusan Hukum Keluarga Islam FSH UIN Walisongo), Dr. Muhammad Kholidul Adib, SHI, MSI (Ketua LTN PCNU Kota Semarang) dan Ustad Miqdad Turkan dari pimpinan komunitas Syi’ah Jepara.
Menurut Dr. Muhammad Kholidul Adib, persoalan Sunni dan Syiah ini kalau melihat sejarahnya sebetulnya kelanjutan dari persoalan politik yang mula-mula muncul setelah Nabi Muhamamd SAW wafat. Para Sahabat Muhajirin dan Anshar rapat di Tsaqifah Bani Saidah yang memilih Abu Bakar ash-Shidiq sebagai khalifah. Sisi lain ada sahabat yang menjagokan Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin.
“Salah satu yang menjadi pangkal perbedaan adalah berkaitan dengan hadits Ghadir Khum yaitu hadits yang disampaikan Nabi Muhammad SAW di daerah yang benama Ghadir Khum, sebuah lokasi antara Kota Makkah dan Kota Madinah. Hadits ini disampaikan di hadapan lebih dari seratus ribu kaum muslimin setelah Nabi Muhammad SAW kembali dari ibadah haji pada tahun terakhir hidupnya,” tutur Adib.
Dalam hadits ini, lanjut Adib, Nabi Muhammad SAW bersabda, Man kuntu mawlahu fa aliyyun mawlahu” yang artinya, “Barangsiapa yang aku jadikan mawla, maka Ali adalah mawla-nya”. Nabi Muhammad SAW juga berdoa, “Ya Allah, jadilah sahabat bagi siapa pun yang menjadi sahabatnya dan berikanlah dukungan-Mu kepada mereka yang mendukungnya”. Hadits Ghadir Khum menjadi titik tolak perpisahan mazhab Sunni dan Syiah. Perbedaan pemahaman terhadap kata “mawla” menjadi penyebabnya. Kaum Sunni berpendapat bahwa kata “mawla” bermakna pelindung/penolong, sementara kaum Syiah berpendapat bahwa kata itu bermakna khalifah/pemimpin.
Makna Syiah dan Sunni
Adib menjelaskan, kata “Syi’ah” berasal dari kata “syi’i” yang berarti pengikut, pecinta, atau pembela. Syi’ah adalah kelompok pendukung Ali bin Abi Thalib dan keturunannya sebagai penerus yang sah dari kepemimpinan umat Islam setelah Nabi Muhammad SAW.
“Ideologi politik Syiah semakin memgkristal terjadi pasca tahkim antara Khalifah Ali bin Abi Tholib versus Muawiyah bin Abu Shofwan yang didukung Amr bin Ash di Daumatu Jandal pasca Perang Shiffin, yang menyebabkan perpecahan di kalangan umat Islam yaitu Syi’ah, Khawarij dan kubu Muawiyah. Pada masa Bani Umayyah ada peristiwa Karbala yang membuat salah satu cucu Rasulullah SAW, Sayyid Husein bin Ali wafat,” ucap Adib.
Lebih lanjut dikatakan, Syiah berkeyakinan imamah (kepemimpinan) merupakan salah satu rukun di antara rukun-rukun agama. Adalah kewajiban Nabi SAW untuk menunjuk dan menetapkan seorang imam dengan ketetapan yang jelas sebagai ganti membiarkan sebagai objek pemilihan oleh umat. Bahwasanya Ali bin Abi Thalib adalah imam yang telah ditetapkan oleh Nabi SAW.
“Seorang imam harus seorang ma’shum, yakni seorang yang suci, terjaga dan terpelihara dari perbuatan dosa besar dan kecil. Kelompok-kelompok Syi’ah bersepakat bahwa imamah adalah hak milik anak cucu Ali saja,” ujar Adib.
Para imam yang diyakini Syi’ah ada 12 Imam, yaitu: (1) Ali bin abi Thalib, (2) Hasan bin Ali, (3) Husein bin Ali, (4) Abu Muhammad Ali bin Husein (Zainal Abidin), (5) Abu Ja’far Muhammad bin Ali (al-Baqir), (6) Abu Abdullah Ja’far bin Muhammad (as-Shadiq), (7) Abu Ibrahim Musa bin Muhammad (al-Kaadim), (8) Abu Husein Ali bin Musa (ar-Ridaa), (9) Abu Ja’far Muhammad bin Ali (al-Jawad), (10) Abu Hasan Ali bin Muhammad (al-Hadi), (11) Abu Muhammad Hasan bin Ali (al-Asykari), (12) Abu al-Qosim Muhammad bin Hasan (al-Mahdi).
Sedangkan kata “Sunni” berasal dari bahasa Arab, yaitu “sunnah” yang berarti tradisi. Sunni juga sebutan untuk kelompok yang menganut paham Ahlussunnah wal Jama’ah (ASWAJA).
“ASWAJA adalah paham yang berlandaskan pada Al-Qur’an dan sunnah (tradisi) yang diwariskan dari Nabi Muhammad SAW. Ajaran Sunni mencakup segala hal yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW,” kata Adib.
Secara teologis Ahlussunnah wal Jama’ah berkembang sebagai kritik atas teologi Mu’taziah, setelah Abu Hasan al-Asyari berbeda dengan pandangan gurunya yang Mu’taziah bernama Ali Juba’i mengenai sifat-sifat Allah SWT.
Fondasi pemikiran politik Ahlussunnah wal Jama’ah dibentuk selama periode akhir pemerintah Umayyah hingga periode awal Abbasiyyah. Pandangan Sunni mengenai khalifah dikembangkan oleh Abu Hasan Ali Al-Mawardi. Menurut Al-Mawardi lembaga negara dan pemerintah diadakan sebagai fungsi kenabian dalam menjaga agama dan mengatur dunia (Nasbul Imam Wajibun Li Riasati Din Wa Siyasati Dunya).
Untuk menjadi imam, seseorang tidak perlu terbebas dari kemungkinan melakukan kesalahan, yang terpenting ia memiliki pandangan yang tegas tentang perang dan mampu menengahi perselisihan. Tidak ada prosedur baku untuk memecat khalifah. Cara mengangat khalifah, bisa melalui penunjukan khalifah sebelumnya dan pemilihan oleh Ahlu Hal wal Aqdi (Ahli mengurai dan menyimpul) disertai perjanjian (baiat).
Adib mengatakan, perbedaan mendasar antara Syiah dan Sunni adalah kalau Syi’ah tidak mengakui kekhalifahan Abu Bakar As-Shiddiq, Umar Ibn Al Khattab, dan Usman bin Affan. Sedangkan Sunni mengakui semua khalifah sebelum Ali. Selanjutnya Syi’ah memandang “Imam” sebagai orang yang ma’sum atau suci. Sunni menganggap tidak suci. Syi’ah berpandangan bahwa menegakkan kepemimpinan/pemerintahan (imamah) adalah termasuk rukun agama. Sedangkan Sunni menganggapnya fardlu kifayah.

Syiah dan Sunni di Indonesia
Menurut Adib, Syiah masuk di Indonesia sudah lama bersamaan dengan masuknya Islam di Indonesia. Hal itu dibuktikan dengan sejumlah data sejarah kaum Syiah berada di Kesultanan Pagaruyung Minangkabau dan adanya sejumlah budaya masyarakat Islam yang lekat dengan tradisi Syiah seperti peringatan malam Asyura di bulan Muharrom untuk memperingati tragedy wafatnya Imam Husein.
“Pasca revolusi Islam Iran Syi’ah semakin eksis di Indonesia melalui intelektual Islam Indonesia yang belajar di Iran. Penganut Syiah di Indonesia cenderung menyembunyikan jati diri dan bersikap seperti pemeluk Islam pada umumnya. Hal ini disebut taqiyah. Tahap keterbukaan melalui Pendirian Organisasi Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI). Jumlah umat Syiah di Indonesia diperkirakan lebih dari 2,5 juta orang. Mereka tersebar di berbagai daerah, seperti Jakarta, Jawa, Madura, dan Sumatra,” ujar Adib.
Seangkan Sunni merupakan salah satu aliran Islam mayoritas di Indonesia, bersama dengan Syiah dan Ahmadiyah. Sebagian besar Muslim Sunni di Indonesia tergabung dalam organisasi seperti Nahdlatul Ulama, Persis, Muhammadiyah, dan al-Jam’iyatul Washliyah, Organisasi-organisasi tersebut terwakili di Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Tetapi hubungan umat Sunni dan Syiah di Indonesia pernah terjadi konflik, seperti yang pernah terjadi di Sampang, Madura. Konflik ini diawali dengan ketidakpercayaan terhadap orang-orang yang memiliki karakteristik berbeda. Konflik ini memiliki akar historis dan kaitan dengan konflik global.
“Konflik bermula dari ketertarikan seorang kyai bernama Makmun terhadap aliran Syiah pada 1980-an. Pada 2004, salah satu anak kyai tersebut, Tajul Muluk, mendirikan pesantren di Desa Karanggayam, Sampang. Sejumlah ulama di Sampang menuding dakwah Syiah yang dibawakan Tajul Muluk sesat. Pada tahun 2012, Tajul Muluk ditahan atas tuduhan pencemaran agama. Pada 26 Agustus 2012, terjadi penyerangan terhadap warga Syiah Sampang. Rumah, musholla, dan toko warga Syiah dibakar,” tutur Adib.
Pada 2020, lanjut Adib, 274 pengungsi Syiah menjalani baiat untuk menjadi Sunni. Sebagian pengungsi Syiah tetap pada keyakinannya dan tidak mau ikut dibaiat. Konflik Sunni-Syiah di Indonesia tidak hanya terjadi di Sampang, tetapi juga pernah terjadi pada masa Orde Baru. Pada masa itu, Syiah dianggap sebagai agen revolusi yang menggulingkan penguasa otoriter.
Adib menjelaskan umat Syiah di Jateng ada di Jepara, Pekalongan, Semarang, Surakarta dan beberapa daerah lain. Jepara merupakan wilayah dengan populasi Syiah cukup besar. Tahun 2006 ada sekitar 500 kepala keluarga penganut Syiah. Tahun 2024 ini sudah meningkat 5000 orang. Kebanyakan di daerah Bangsri.
Komunitas Syiah di Jepara hingga kini tidak mengalami tindakan persekusi, diskriminasi apalagi kekerasan fisik. Sedangkan umat Syiah di daerah lain seperti Pekalongan pernah mengalami memori kekerasan pada 1992 dan 2000. Pada 1992, sekelompok orang yang menamakan diri perwakilan umat Islam mengeluarkan resolusi untuk menolak kehadiran Pesantren Al-Hadi di Pekalongan. Pada tahun 2000 sekelompok massa membakar pesantren di Wonotunggal, Batang (timur Pekalongan) yang dibangun umat Syiah.
“Pada tahun 2015-2017 perayaan Asyura oleh penganut Syiah di Semarang yang jatuh pada hari ke-10 bulan Muharram sempat mendapat penolakan dari sejumlah kelompok garis keras. Ratusan orang dari Forum Umat Islam Semarang hendak membubarkan acara tapi berkat pengawalan kepolisian acara dapat berjalan lancar. Pada 2020, gerombolan laskar radikal menyerang keluarga Almarhum Habib Segaf Aljufri di Solo. Habib Umar Assegaf (54 tahun), Habib Hadi Umar (15 tahun) dan Habib Husin Abdullah (57 tahun) menjadi korban keberingasan mereka,” ujar Adib.
Faktor Geopolitik Timur Tengah
Kondisi Ketegangan di Timur Tengah antara Iran versus Arab Saudi berdampak hingga di belahan dunia yang lain. Teror terhadap kalangan Syiah di Solo (2020) maupun di Semarang (2015-2017) menunjukkan betapa kelompok radikal tengah melakukan upaya cleansing di Indonesia.
Untuk saat ini, kayaknya yang menjadi sasaran Syiah, sebelumnya Ahmadiyah. Ke depan, jika kelompok radikal berada di atas angina. Mereka tidak berani sama Sunni NU karena anggotanya banyak. Sementara terhadap Ahmadiyah dan Syiah mereka berani. Mungkin ke depan kalau mereka kuat maka warga NU akan jadi sasaran berikutnya. Ziarah kubur, tahlilan, maulidan, dan salawatan yang jadi “tradisi” NU pasti akan diobrak-abrik kalangan Wahabi radikal ini.
“Kelompok radikal ini kuat secara finansial karena didukung pendanaan dari luar. Sekarang teror-teror kelompok radikal sudah memuakkan umat Islam Indonesia. Mereka merusak toleransi beragama dan menghancurkan budaya Islam Indonesia,” tutur Adib.
Upaya Dialog dan Rekonsiliasi Syiah – Sunni dalam Bidang Sosial-Politik
Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), jumlah penduduk dunia pada tahun 2024 mencapai 8,2 miliar jiwa. Jumlah ini naik 200 juta jiwa dari dua tahun sebelumnya. Kristen merupakan agama terbesar di dunia, dengan jumlah pengikut mencapai 2,38 miliar orang atau sekitar 33% dari total penduduk dunia. Agama ini terdiri dari berbagai aliran, seperti Katolik, Protestan, dan Gereja Ortodoks Timur.
Sementara penduduk bumi yang beragama Islam sebanyak 1,9 miliar (24%). Secara umum, memang umat Islam cuma ada dua kelompok, yaitu Sunni sebanyak 1,7 miliar (87-90%) dan 180-230 juta (10-13%) beraliran Syi’ah. Sunni yang dianut 85–90% populasi penduduk muslim itu tersebar di negara-negara Arab, Turki, Pakistan, India, Malaysia, hingga Indonesia. Sedangkan Syiah mayoritas ada di Iran dan tersebar di beberapa negara lain yang minoritas.
Umat Islam punya peluang untuk kembali bangkit untuk meraih kejayaan namun sejumlah kendala warisan masa lalu masih membayangi salah satunya hubungan Sunni dan Syiah yang harus dirajut kembali untuk memperkuat Ukhuwwah Islamiyah.
Adib mengemukan pentingnya membangun dialog dan rekonsiliasi Syiah dan Sunni demi mewujudkan kejayaan kembali umat Islam di panggung dunia. Umat Islam harus bersatu untuk mengembalikan kejayaan Islam.
Konflik antara Syi’ah dan Sunni berawal dari masalah muamalah, yaitu penentuan pemimpin setelah wafatnya Rasulullah. Konflik tersebut dilandasi motif kekuasaan, bukan motif agama, maka perlu membina kerukunan umat keagamaan baik penganut Syi’ah maupun Sunni dengan cara memanfaatkan ulama dan tokoh masyarakat sebagai penyambung lidah antara pemerintah dan masyarakat. Di samping juga perlu menghadirkan peran negara agar tidak diskriminatif dalam melayani semua umat. Dengan menjalin sinergi antara pemerintah, ulama, dan tokoh masyarakat baik dari Syiah maupun Sunni maka besar harapan akan mudah tercapai dialog dan rekonsiliasi Syiah – Sunni dalam bidang sosial-politik.[]
