DEMAK, nujotasemarang.com – Lantunan surat yasin, kalimat thoyyibah atau tahlil dan pembacaan maulid dziba’ meramaikan kegiatan haul Mbah Marhum yang ke-61 bertempat di pemakaman umum Pilang Dukuh Karanganyar Desa Blerong Kecamatan Guntur Kabupaten Demak (Ahad, tanggal 7 Syawal 1446 H atau 6 April 2026).
Kegiatan haul diikuti oleh dzurriyah Mbah Marhum dan ratusan warga dukuh Karanganyar dan sekitarnya dalam rangka kirim do’a kepada sang kiai dan meneladani perjuangannya dalam berdakwah membumikan agama Islam di dukuh Karanganyar Blerong.
Kiai Marhum hidup pada era penjajahan, era perjuangan revolusi fisik kemerdekaan dan era orde lama. Beliau wafat pada bulan Ramadlan tahun 1385 H atau bulan Januari 1966 M.
Kiai Marhum dikenal memiliki jiwa pejuang yang gigih dalam berdakwah yang termasuk di karuniai tanah yang luas sebagai modal dakwah dan sekaligus diwariskan kepada keturunannya.
Jiwa dakwah beliau tak lepas dari didikan gurunya yaitu waliyullah KH. Abdullah Mudzakir yang makamnya berada di Tambaksari Bedono Sayung Demak.
Makam waliyullah KH Abdullah Mudzakir atau yang biasa disebut Mbah Mudzakir sekarang berada di laut pesisir Sayung dan menjadi destinasi wisata religi yang ramai diziarahi umat Islam.
Menurut cerita orang-orang tua, waliyullah KH Abdullah Mudzakir merupakan ulama yang berasal dari desa Wringinjajar Mranggen dan tinggal di Kaligawe kemudian pindah ke dukuh Tambaksari Bedono Sayung.
Waliyullah KH Abdullah Mudzakir dikisahkan masih ada hubungan kerabat dengan Waliyullah Mbah Shodiq Jago Wringinjajar Mranggen yang masih keturunan Ki Ageng Pandanaran (Sunan Tembayat).
Mbah Shodiq Jago Wringinjajar dikenal menurunkan banyak ulama dan pejuang di antaranya Mbah KH Abdul Hadi Girikusumo Banyumeneng Mranggen, Mbah Asiah istri Mbah Ismail Godo Jamus yang menurunkan banyak ulama di Jamus, Penggaron Kidul, Pedurungan, Ungaran dan lain-lain. Mbah Abdul Hamid Kajoran Magelang juga tercatat masih keturunan beliau.
Waliyullah KH Abdullah Mudzakir dikenal gigih mendidik para santri untuk belajar agama dan berdakwah membina umat di kampung-kampung sehingga kebanyakan santrinya menjadi kiai masjid dan kiai musholla di kawasan Demak bagian barat. KH Abdullah Mudzakir juga mendidik para santri untuk turut berjuang melawan penjajah Belanda.
Masyarakat Dukuh Karanganyar Blerong terutama para orang tua yang dulu hidup di era Kiai Marhum mengenang pribadi Kiai Marhum sebagai sosok kiai yang rajin beribadah. Semula beliau menjadi imam musholla kemudian menjadi imam masjid jami’ Baitul Mubarok Karanganyar.
Beliau merupakan salah satu produk kaderisasi nyata KH Abdullah Mudzakir dalam berdakwah yang menggunakan strategi merangkul dan mengayomi umat.
Sebagai tokoh agama beliau mengajak umat di sekitarnya untuk melaksanakan ibadah shalat berjama’ah di masjid, mengadakan pengajian rutin, melestarikan amalan dan tradisi Islam ala pesantren sebagaimana diajarkan oleh gurunya. Hingga sekarang kegiatan tersebut masih dilanjutkan oleh para ahli keturunannya.
Kiai Marhum memiliki prinsip hidup harus memberi manfaat untuk sesama umat. Karena itu beliau juga aktif dalam pemberdayaan ekonomi umat melalui sektor pertanian dengan mengajak kerjasama masyarakat untuk ikut mengelola sawah dan kebunnya dengan sistem bagi hasil atau upah. Di samping itu beliau juga dikenal sering membantu warga dalam urusan sosial budaya misalnya membantu mencarikan jodoh maupun membantu warga yang sedang kena musibah. Beliau juga ikut mempelopori nguri-nguri terbang blantenan yang sekarang sudah mulai jarang dipentaskan kecuali di beberapa masjid kuno seperti di Masjid Agung Demak.
Berkat kegigihan Kiai Marhum lambat laut agama Islam dapat membumi di dukuh Karanganyar.
Salah satu yang menjadi ciri khas Kiai Marhum adalah ketika melaksanakan shalat Jum’at disertai do’a qunut yang ternyata ini juga sama dengan shalat Jum’at di masjid Tambaksari Sayung. Menandakan ada kesinambungan antara beliau dan gurunya.
Setelah sang guru wafat, beliau selalu tabarrukan kepada gurunya, misalnya, karena hormatnya kepada sang guru, tiap acara peringatan haul waliyullah KH Abdullah Mudzakir, Kiai Marhum selalu hadir, walau terbatasnya sarana kendaraan dan beratnya medan jalan kala itu sehingga harus berangkat dan pulang berjalan kaki menempuh perjalanan puluhan kilo meter.
